KAJIAN KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KAITANNYA DENGAN PRINSIP KEBEBASAN
BERKONTRAK DI INDONESIA
(PERSPEKTIF LEGAL FORMAL)
Oleh : Jati Nugroho*
ABSTRAK
Kajian terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999
terutama dari segi substansi hukum
(legal formal), menunjukkan bahwa
terdapat 3 (tiga) pilihan dalam kaitannya dengan kebebasan berkontrak di
Indonesia yaitu : pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of
jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicili). Dilihat dari sisi legal
formal, UU tersebut terdapat kelemahan yaitu pasal yang kurang jelas, kurang
pasti, kabur dan pengertian luas terhadap arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa serta ada materi yang belum diatur dengan baik dan proporsional.
A.
Latar Belakang
Menurut American
Institute- American Bar Association sampai bulan Oktober 1994 jumlah
perkara yang masuk di Federal District Courts di USA ada sekitar 250.000 dan
sekitar 1.000.000 civil casus di State Courts dan telah menalan biaya
sekitar US$ 300.000.000.000 (tiga ratus milyar US$) per tahunnya dimana sebesar
US$ 80.000.000.000 untuk biaya litigasi sipil. Waktu yang diperlukan untuk
penyelesaian mencapai sekitar 6 tahun di pengadilan pertama dan sekitar 3
sampai dengan 4 tahun untuk memperoleh putusan akhir melalui apel dan kasasi.
Waktu tunggu sampai perkara mulai disidangkan di pengadilan pertama rata-rata 3 tahun. Tidak diketahui berapa
lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara di pengadilan Indonesia,
akan tetapi sebagai contoh ialah perkara sengketa rumah yang diduduki tanpa hak
oleh pihak lain dimulai pemeriksaan perkaranya di Pengadilan Negeri tahun 1972
sampai dengan tahun 2000 (28 tahun) belum memperoleh putusan akhir dan kalau
kemudian diputus untuk eksekusipun diperlukan waktu dan biaya yang sulit diduga
(Abddurrasyid, 2002 : 1).
Alasan ini menyebabkan banyak negara kini berpaling
kepada apa yang disebut Alternative
Disputes Resolution (ADR) atau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara
Kooperatif (MPSSK) atau Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS).
Penyelesaian melalui ADR ini untuk sengketa bidang hukum privat di berbagai
bidang industri, keuangan, perdagangan ataupun bidang lain yang telah
disepakati.
Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian
sengketa yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak dapat dipaksakan oleh
salah satu pihak kepada pihak lainnya
dan kesepakatan yang dicapai harus ditaati para pihak (Widjaja, 2002 :
2). Penyelesaian persetujuan dilakukan secara damai tanpa ada yang kalah (win-win solution) ini menurut pasal 1
ayat (10) UU No. 30 Tahun 1999 dapat dilakukan melalui negosiasi, mediasi,
rekonsiliasi yang tentunya hasil yang
dicapai tidak dapat digeneralisasi (Fisher et.al, 2000 : xix).).
Apabila langkah di atas tidak tercapai maka dilakukan
melalui arbitrase. Hal itu didasarkan pada
pemikiran bahwa langkah
penyelesaian alternatif di luar pengadilan tersebut oleh para pihak yang
berkontrak, antara lain disebabkan oleh adanya keinginan keluar dari proses
litigasi melalui hukum acara pengadilan yang bersifat kaku, berlarut-larut dan
memakan waktu yang lama. Keinginan para pihak untuk memilih atau menentukan
secara langsung para wasit yang diyakini mempunyai kemampuan khusus akan
memeriksa dan memutus sengketa tersebut.
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap
sehingga mengikat para pihak (pasal 60 ayat (1)).
Para pihak yang terikat pada perjanjian harus
memperhatikan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu
perjanjian. Sedangkan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya (pasal 1338 KHU Perdata).
Prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang diakui dalam pasal 1338 KUH Perdata
tidak saja memberikan kebebasan berkontrak untuk mengajukan poin-poin perikatan
yang akan disepakati dan dilaksanakan bersama dalam kontrak, akan tetapi
memberikan juga kebebasan kepada para pihak tersebut untuk memilih ataupun
menyepakati langkah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) sebagai
alternatif penyelesaian sengketa.
Para pihak dalam suatu kontrak dapat menentukan sendiri
beberapa pilihan kontrak yang meliputi (Fuady, 2002
: 88) :
(1)
Pilihan
hukum (choice of law), dalam hal
ini para pihak menentukan sendiri dalam
kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut;
(2)
Pilihan
forum (choice of jurisdiction), yakni
para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan dan forum mana
yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut;
(3)
Pilihan
domisili (choice of domicili), dalam
hal ini masing-masing pihak melakukan
penunjukan dimanakah domisili hukum para pihak tersebut.
Kesepakatan untuk memilih arbitrase sebagai suatu lembaga hukum alternatif dalam
menyelesaikan setiap bentuk sengketa yang muncul dari kontrak yang telah ditandatangani, tidak saja dapat
disepakati ataupun dinyatakan para pihak
secara tertulis dalam kontrak tersebut atau sebelum sengketa tersebut
terjadi (factum de compromitendo), akan tetapi dapat juga
disepakati secara tertulis kemudian setelah perselisihan tersebut terjadi (akta
kompromi).
Dapat tidaknya hukum bekerja secara efektif menurut “Legal Theorie” dari Friedmann salah
satunya dapat ditinjau dari segi substansi hukum (legal formal) yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999. Secara teoritis dan
praktis baik 3 (tiga) pilihan berkaitan UU No. 30 Tahun 1999 yaitu : pilihan
hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicili) terdapat kelemahan yaitu pasal yang kurang
jelas, kurang pasti, kabur dan pengertian luas terhadap arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa sehingga timbul masalah yang perlu dikaji.
Bahkan ada beberapa masalah/problema
yang belum diatur dengan baik dan proporsional sehingga dapat
menimbulkan permasalahan hukum (Harahap,
2002 :1).
B.
Permasalahan
Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah :
-
Mengapa perlu kajian kritis terhadap Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam
kaitannya dengan prinsip kebebasan berkontrak di Indonesia (perspektif legal
formal)?
C.
Kajian Kritis
terhadap UU No. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Kaitannya dengan Prinsip
Kebebasan Berkontrak di Indonesia (Perspektif Legal Formal)
Para pihak
dalam suatu kontrak menentukan sendiri beberapa pilihan kontrak, dan beberapa
permasalahan hukum yang perlu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam
adalah:
1. Pilihan
Hukum (Choice of Law)
Pada prinsipnya
para pihak diberi kebebasan menentukan sendiri hukum mana yang berlaku dalam
perjanjian sesuai prinsip kebebasan berkontrak. Menurut ketentuan pasal 1338
KUH Perdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat
pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi yang mebuatnya, tidak
dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Adapun syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata
adalah :
(1)
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
(2)
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(3)
suatu hal tertentu;
(4)
suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau
subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir dinamakan
syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri atau obyeknya dari
perbutan hukum yang dilakukan. Tidak terpenuhinya syarat subyektif maka perjanjian
itu dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat-syarat obyektif maka
perjaian itu batal demi hukum.
Meskipun demikian batasan yang harus dipahami para pihak
dalam berkontrak adalah:
-
tidak melanggar ketertiban umum;
-
hanya di bidang hukum kontrak;
-
tidak boleh mengenai hukum kontrak kerja;
-
tidak boleh mengenai ketentuan hukum publik.
Penempatan klausula pilihan hukum kontrak mempunyai arti
penting untuk:
-
sebagai sarana untuk menghindari ketentuan hukum yang
memaksa yang tidak efisien;
-
untuk meningkatkan persaingan yurisdiksi;
-
memecahkan masalah peraturan berbagai negara.
UU Nomor 30 Tahun 1999 secara teoritis dan praktis,
terdapat kelemahan pasal yang kurang jelas, kurang pasti, kabur dan pengertian
luas. Hal itu terjadi karena
perundang-undangan yang menghasilkan peraturan akan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
(1) Bersifat umum dan komprehensif yang dengan
demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;
(2) Bersifat universal yang diciptakan untuk
menghadapi peristiwa yang akan datang yang belum jelas kongkritnya. Oleh karena
itu tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja;
(3) Memiliki kekuatan
untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu
peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya
peninjauan kembali (Rahardjo, 2000 :
83-84).
Lebih lanjut
menurut Rahardjo (2000 : 85)
dikatakan bahwa suatu UU yang demikian terdapat beberapa kelemahan yaitu :
(1)
Kekakuan.
Kelemahan ini sebetulnya segera tampak
sehubungan dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian
hukum. Apabila kepastian ini hendak
dipenuhi, maka ia harus membayarnya dengan membuat rumusan-rumusan yang
jelas, terperinci dan tegas dengan resiko menjadi norma yang kaku;
(2)
Keinginan perundang-undangan untuk membuat
rumusan-rumusan yang bersifat umum.
Ketentuan
ini mengandung resiko bahwa ia
mengabaikan dan bahkan memperkosa
perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu
saja. Terutama sekali dalam suasanan kehidupan modern yang cukup kompleks dan
spesialistis rasanya sangat sulit untuk membuat peraturan yang bersifat
generalisasi. Bahkan dalam beberapa hal belum diatur secra proporsional
sehingga menimbulkan permasalahan hukum dalam praktik.
a.
Judul UU Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif
Penyelesaian Sengketa merupakan konsep yang keliru atau salah
1) Konsep yang terbalik
Ketentuan alternatif penyelesaian sengketa (ADR)
seharusnya ada lebih dahulu baru arbitrase sehingga dengan demikian terwujud connected system antara ADR dengan
arbitrase dengan acuan penerapan : sengketa lebih dahulu diselesaikan melalui
ADR seperti mediation, conciliation atau
expert determintion, dan bila tidak dapat tercapai baru ditempuh melalui
arbitrase.
2) Arbitrase seharusnya merupakan bagian
dari alternatif penyelesaian sengketa (non litigasi)
Sebenarnya arbitrase merupakan bagian dari alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, jadi bukan arbitrase terlepas dari
ADR. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: “Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.”
Sedangkan pasal
1 ayat (10) UU No. 30 Tahun 1999
dinyatakan : “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau pendapat ahli.”
Dari kedua hal tersebut di atas nampak bahwa arbitrase
merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan.
Sehingga seharusnya arbitrase bukan berdiri sendiri, melainkan rumusan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan ini dinyatakan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, dilakukan melalui : a) konsultasi, b)
negosiasi, c) mediasi, d) konsiliasi, e) pemberian pendapat hukum, dan f)
arbitrase, sebagai bagian yang sama.
Disamping itu UU Nomor 30 tahun 1999 lebih memberikan
pengaturan tentang arbitrase dalam materi cukup banyak, sehingga terkesan UU
ini sengaja diciptakan hanya untuk membahas tentang arbitrase saja. Bahkan
peraturan berkaitan alternatif penyelesaian sengketa tidak diberi prosi yang
cukup dalam UU tersebut. Seperti mediasi (sekarang diatur dalam Perma No. 2
Tahun 2003) tidak diberi penjelasan yang
cukup mekanisme penyelesaian sengketa.
Seharusnya dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 juga memberikan
dalam batasan mana alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan serta menampakkan urutan proses
penyelesaian sengketanya. Dalam mediasi pihak ketiga yang dimintakan bantuannya
untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasip dan sama sekali
tidak memberikan suatu masukan apalagi memutuskan perselisihan yang terjadi dan
bila tidak dapat tercapai meningkat menjadi konsiliasi. Dalam konsiliasi, maka
pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seorang
yang secara professional sudah dapat dibuktikan kehandalannya, bila proses ini
tidak dapat tercapai baru ke arbitrase.
Untuk arbitrase, dilakukan seorang arbiter yang berperan aktif
sebagaimana halnya seorang hakim, dan keputusan yang diambil bersifat binding dan final. Jadi adalah tidak tepat penyelesaian dimulai dengan
arbitrase baru kemudian ADR (Widjaja, 2002 : 2-3).
Untuk lebih mempertegas bahwa seharusnya tidak langsung
melalui arbitrase dapat dikemukakan disini adalah penyelesaian sengketa
pertanahan misalnya ada 2 (dua) cara untuk menyelesaikan sengketa
yang disebabkan pemakaian tanah hutan
menurut UU Kehutanan Tahun 1999 ini. Pertama,
melalui pengadilan maupun di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara
sukarela para pihak yang bersengketa. Jika di luar pengadilan tidak tercapai
kesepakatan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan (pasal 74 ayat 1
dan 2).
Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan
(selain delik) dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian
suatu hak, besarnya ganti rugi dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk
memulihkan fungsi hutan (pasal 75 ayat 2). Proses yang dilakukan berdasarkan a)
konsultasi, b) negosiasi, c) mediasi, d) konsiliasi, e) pemberian pendapat
hukum, dan f) arbitrase sebagaimana UU No. 30 tahun 1999, apalagi masalahan
tanah merupakan masalah yang pelik.
Menurut pasal 75 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan
bahwa yang dapat ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa kehutanan di luar
pengadilan adalah :
1)
pihak
ketiga yang ditunjuk para pihak;
2)
pendampingan
organisasi nonpemerintah (LSM) yang bergerak di bidang kehutanan.
Sedangkan dalam penjelasan pasal 32 UU No. 23 tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup, ditentukan bahwa para pihak yang berkepentingan dapat
meminta jasa pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga yang netral meliputi yang
tidak memiliki kewenangan dan yang memiliki kewenangan dalam mengambil
keputusan, yaitu :
1) Pihak ketiga yang netral
berfungsi sebagai pihak yang memfasilitasi para pihak yang berkepentingan
sehingga dapat dicapai kesepakatan.
Syarat pihak ketiga ini adalah :
a)
disetujui
oleh para pihak yang bersengketa;
b)
tidak
memiliki hubungan keluarga dan/atau hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa;
c)
memiliki
ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan;
d)
tidak
memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
2). Pihak ketiga yang netral
yang memiliki kewenangan mengambil keputusan berfungsi sebagai arbiter, dan
semua putusan arbitrasi ini bersifat tetap dan mengikat para pihak yang
bersengketa.
Dari UU di atas nampak seharusnya arbitrase dilakukan
setelah upaya yang dilakukan alternatif penyelesaian sengketa lainnya tidak
mampu untuk mengatasi masalah yang ada dengan ketentuan sengketa yang timbul
adalah sesuai Anggaran Dasar BANI yaitu sengketa perdata yang timbul dalam
bidang perdagangan, industri, keuangan dan lain-lain baik yang bersifat
nasional maupun internasional.
b.
Perkara dapat
diselesaikan dengan cepat dan biaya ringan adalah bersifat relatif serta kurang sesuai prinsip accesible
dan affordable
1)
Faktor kekakuan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan
Alasan utama orang memilih penyelesaian sengketa di luar
pengadilan karena cara penyelesaiannya dianggap lebih cepat dan tepat,
mengurangi biaya dan waktu serta menjaga kebersamaan. Hal terlihat dari cara
penyelesaiannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa
menuju win-win solution daripada
harus diselesaikan lewat pengadilan yang mendatangkan win-lose solution belum lagi menyangkut waktu dan biaya.
Tetapi bila dikaji mendalam alternatif penyelesaian
sengketa diatur dalam pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 sebagai berikut:
(1)
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan
oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada
iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara liligasi di Pengadilan
Negeri;
(2)
Penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis;
(3)
Dalam
hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda
pendapat diselesaikan, melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator;
(4)
Apabila
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seoran
atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil
mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah
pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator;
(5)
Setelah
penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah
dapat dimulai;
(6)
Usaha
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang
ditandatangan oleh semua pihak yang terkait;
(7)
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk
dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan;
(8)
Kesepakatan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7)
wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran;
(9)
Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya
melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Kelemahan yang masih menjadi kendala dari APS adalah
masih kakunya prosedur/mekanisme APS yang ada dalam Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kekakuan
mekanisme tersebut dapat dilihat dari limitasi waktu yang ketat dan
langkah-langkah/tahapan yang baku sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 (Widiarto, 2004 : 41).
Corak mekanisme APS sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa tersebut tentunya bertolak belakang dengan mekanisme penyelesaian
sengketa yang selama ini digunakan masyarakat dalam menyelesaikan masalah
pertanahan. Masyarakat dalam melakukan penyelesaian sengketa tidak terbatas
waktu, bahkan cenderung memakan waktu lama yaitu dalam hitungan tahun.
Sementara itu prosedur yang diganakan juga sangat luwes dan bergantung pada
kesepakatan serta situasi dan kondisi.
Dalam kaitannya dengan prinsip accesible dan affordable (ada di setiap tempat dan biaya murah)
nampak bahwa Badan Arbitrase tidak terdapat di semua Kabupaten/kota. Ini
berarti merupakan seperti Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) jilid 2, karena
hampir tidak semua memiliki PTUN tersebut dan yang ada hanya di ibukota
provinsi. Sedangkan Badan Arbitrase ini justru tidak semua ibukota provinsi
mempunyai sehingga tidak tercapai proses peradilan yang cepat dan biaya ringan.
2) Faktor Budaya
Pada sisi tertentu,
pentingnya kedudukan hukum dalam kehidupan masyarakat, pada dasarnya tidak
terlepas dari fungsi hukum itu sendiri dalam masyarakat berkaitan dengan
harapan-harapan dan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat secara keseluruhan.
Namun demikian perlu disadari bahwa kebutuhan hukum setiap masyarakat tidak
sama (Munir, 1997 : 3). Hukum
dalam masyarakat yang sederhana tentunya berbeda kebutuhannya dengan hukum
dalam masyarakat berkembang begitu pula dengan masyarakat modern, Vago (1985 : 15) menyatakan bahwa
salah satu cara untuk memahami peranan hukum adalah melihat ada perbedaan
fungsi hukum itu dalam masyarakat.
Praktik penyelesaian sengketa pada suatu masyarakat tidak
bisa dilepaskan dari budaya hukum masyarakat yang bersangkutan. Budaya hukum (legal culture) menurut Friedman seperti
yang dikutip Rahardjo (1984: 82-86) dirumuskan
sebagai “sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama-sama dengan sikap-sikap dan
nilai-nilai yang berkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan
lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif”.
Dari sisi normatif jelas bahwa alternatif penyelesaian
sengketa diberikan ruang yang luas untuk memecahkan persoalan sengketa tanah
antara warga masyarakat mauoun warga masyarakat dengan negara, apalagi sengketa
kehutanan merupakan permasalahan yang sangat pelik memerlukan waktu cukup
panjang..
Prosedur yang kaku dalam APS justru akan mengakibatkan
ketergesa-gesaan dalam menyelesaikan sengketa yang pada akhirnya dapat merugikan
kedua belah pihak dengan adanya bayang-bayang dead lock. Kecenderungan dead
lock akan menyebabkan buntunya solusi permasalahan dan mendorong untuk
dilakukan jalan pintas berupa dorongan untuk menggunakan jalur litigasi.
Proses pengaturan APS melalui hukum positif dikawatirkan
akan mencerabut akar filosofi APS itu sendiri. APS pada prinsipnya sangat
bergantung pada kesepakatan para pihak, sehingga kebebasan para pihak
diutamakan dalam APS.
c. Arbitrase merubah sistem penyelesaian
sengkata di luar pengadilan dari win-win
solution menjadi win-lose solution dengan
segala konsekuensi yang terjadi.
Alternatif penyelesaian sengketa misalnya melalui
penggunaan negosiasi sebagai teknik
berunding mampu memberikan persetujuan
secara damai tanpa harus ada yang kalah (win-win
solution), dalam hal ini mampu menghasilkan persetujuan secara bijaksana
(seandainya kesepakatan dapat dicapai), efisien (to the point) dan
meningkatkan atau setidaknya tidak merusak hubungan baik yang sudah
terjalin. Proses tawar-menawar secara konsensual karena para pihak sepakat
dalam penyelesaian sengketa mendapatkan
keuntungan karena tingkat kemandirian para pihak tanpa intervensi pihak lain.
Kelebihan negosiasi ini para pihak bebas melalui
kesepakatan bersama memilih bentuk dan tatacara yang terdapat dalam negosiasi
dan akan diterapkan dalam penyelesaian sengketa. Pihak yang bersengketa atau
berselisih paham dapat mengadakan penjajakan kembali akan hak dan kewajiban
para pihak dengan/melalui situasi yang saling menguntungkan, dengan melepaskan
atau memberikan kelonggaran atas hak-hak
tertentu berdasarkan asas timbal balik.
Alternatif penyelesaian sengketa berhasil mengantarkan
kerangka berpikir obyektif yang inklusif
terhadap masukan-masukan positif. Pada sisi yang lain juga membuka mata
mendesakkan kepentingan tidak dengan pendekatan pemaksaan kehendak maupun
penaklukan (coersif) melainkan secara
elegan berproses affecting (mempengaruhi)
substansi persetujuan berbarengan dengan mendapatkan sebuah persetujuan yang
berpengaruh (effecting) serta
menekankan pada proses sebagai produk yang jauh lebih berharga daripada output (Fisher et.al, 2000 : 172).
Dengan adanya arbitrase hal
yang menonjol adalah adanya keputusan yang bersifat final dan binding sehingga dapat diberlakukan dan
dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali. Dari sisi waktu yang dipakai untuk penyelasaian
sengketa relatif singkat yaitu paling
lama 180 (seratus delapan puluh hari) sejak arbiter terbentuk (pasal 48 ayat
(1) UU No. 30 Tahun 1999).
Permasalahan dalam arbitrase terutama dengan adanya
putusan arbitrase yang bersifat final dan binding
yang mengikat para pihak yang bersengketa tentu akan menimbulkan pihak yang
menang dan kalah. Biasanya pihak yang kalah mencari alasan/dalih untuk menggugurkan
putusan bahwa perjanjian melalui klusula
arbitrase para pihak, pihak yang kalah
mengkait-kaitkan dengan langkah bagaimana membatalkan putusan dari
arbitrase (misalnya syarat perjanjian melanggar ketentuan pasal 1320 KUH
Perdata) lewat pengadilan negeri baik menyangkut quality arbitration (menyangkut fakta seperti ada proyek yang di-mark up) maupun technical arbitration (bahasa dokumen) apalagi bila salah satu
pihak adalah dari negara asing. Dalam pasal 70 UU Nomor 30 tahun 1999 memberi
peluang untuk hal itu seperti dinyatakan:
Terhadap
putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila
putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b.
Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan
oleh pihak lawan;
c.
Putusan
yang diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
sengketa
Dalam hal ini nampak konsekuensi yang harus dipikul dalam
arbitrase oleh para pihak adalah:
(a)
kesulitan para pihak memiliki itikad baik terhadap
keputusan tersebut arbitrase (seperti kasus Karaha Bodas Company LLC AS (KBC)
melawan Pertamina);
(b)
kesulitan menentukan arbriter agar tidak memihak (dalam
kasus Pertamina dengan KBC tidak ada satupun arbriter dari Indonesia);
(c)
kesulitan menjawab pilihan hukum apabila pada perbedaan
sistem hukum antar negara (meskipun terikat Lex
Mercantoria).
2.
Pilihan Forum (Choice of Jurisdiction) dan Pilihan
Domisili (Choice of Domicili)
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka ppara pihak
dalam kontrak dapat memilih pengadilan mana
seandainya timbul sengketa terhadap kontrak yang bersangkutan yang dapat
dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di luar pengadilan. Khusus
berkaitan dengan forum di luar pengadilan yaitu melalui arbitrase dan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diatur dalam UU Nomor 30 tahun
1999 akan dikaji secara mendalam di bawah ini.
a.
Penerapan
yurisdiksi adalah generalisasi dan absolut, tanpa memperhatikan rumusan
klausula yang disepakati dalam kontrak (Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999) termasuk
pengabaian terhadap Anggaran Dasar BANI.
Terdapat
kecenderungan penerapan yurisdiksi arbitrase secara generalisasi dan absolut, tanpa
memperhatikan rumusan klausula yang disepakati dalam perjaijian sebagaimana
dalam UU Nomor 30 Tahun 1999:
-
Pasal 3 : “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase.”
-
Pasal 11 :
-
Ayat (1) : Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri;
-
Ayat (2) : Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak
campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini.
Berdasarkan
rumusan ini berarti setiap perjanjian terdapat klausula arbitrase dengan
sendirinya lahir kewenangan absolut arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul dari perjanjian, tanpa memperdulikan jangkaun atau ruang lingkup
sengketa yang disebut dalam rumusan arbitrase jelas merupakan pendapat yang
keliru. Bentuk klausula arbitrase pada prinsip dapat dilakukan melalui:
-
Standar klausula arbitrase ICSID (International
Centre for Settlement of Invesment
Disputes);
-
Standar klausula arbitrase UNCITRAL (United Nations
Commision on International Trade Law;
-
Standar klausula arbitrase ICC (International Chamber of Commerce);
-
Standar klausula arbitrase menurut ketentuan nasional;
Dalam praktek
hukum dikenal dan membenarkan cara perumusan arbitrase (Harahap, 2002 : 17) :
(a)
Berbentuk Umum
Bentuk klausula
yang bersifat umum yang sering disepakti dalam perjanjian yaitu bahwa para
pihak sepakat agar segala atau setiap sengketa yang terjadi atau timbul dari perjanjian, akan
diselesaiakan oleh arbitrase.
“All disputes arising connection with the
present contract shall finally settled under the arbitration…”
Dalam hal ini
berarti ketentuan pasal 3 diterapkan secara absolut yaitu sengketa yang timbul
dari perjanjian adalah:
-
secara mutlak menjadi yuridiksi arbitrase untuk
menyelesaikan;
-
PN berdasarkan pasal 3 dan pasal 11 tidak berwenang untuk mengadili.
(b)
Berbentuk Terbatas atau Parsial
-
ada yang bercorak enumeratif,
dengan cara dideskripsikan satu-persatu dalam klausula arbitrase, sengketa apa
saja yang menjadi kewenangan arbitrase; atau
-
hanya menyebut secara terbatas sekali sengketa apa saja
yang dapat disepakati diselesaikan oleh arbitrase.
Biasanya
klausula yang bersifat rinci disebut satu-persatu jenis sengketa yang
disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase, sedangkan klausula yang
bersifat sangat terbatas hanya menyebut 1 (satu) saja. Dapat dilihat bahwa
dalam rumusan klausula terinci atau terbatas, tidak dijumpai kata kunci kunci
segala atau setiap. Tetapi langsung dengan menyebut jenis sengketa apasaja yang
disepakati menjadi yurisdiksi arbitrase. Dalam hal disepakati ini, ketentuan
pasal 3 dan pasal 11, tidak otomatis diterapkan secara generalisasi dan
absolut. Akan tetapi harus diteliti
dengan seksama, apakah sengketa yang terjadi termasuk jenis sengketa yang
disebut dalam klausula, dengan acuan penerapan :
-
apabila sengketa yang terjadi termasuk ruang lingkup yang
disebut atau dirinci dalam klausula, maka yang berwenang menyelesaikan adalah
arbitrase, atas alasan sengketa yang terjadi termasuk yurisdiksi arbitrase
berdasarkan kesepakatan yang ditegaskan dalam perjanjian;
-
sebaliknya apabila sengketa yang terjadi berada di luar
ruang lingkup klausula arbitrase, yang berwenang menyelesaikannya adalah
Pengadilan Negeri, atas dasar sengketa termasuk yurisdiksi PN;
Bahkan bila
dikaitkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang menerapkan
unsur-unsur ADR pada pasal 1 Anggaran
Dasar BANI diberi wewenang oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan
mengadili semua sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan,
industri, keunagan dan lain-lain baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Yang tidak dapat diarbitrasekan di Indonesia adalah sengketa
tentang perumahan, perburuhan/tenaga kerja. Sehingga sulit untuk menetapkan
begitu saja “one size fits for all” (Abdurrasyid, 2003 : 1).
Dalam praktik di pengadilan Indonesia, seringkali dijumpai
adanya kerancuan pemahaman pilihan yurisdiksi (choice of yurisdiction) dan pilihan hukum (choice of law). Sehingga seringkali ditemukan adanya inkonsistensi
sikap pengadilan terhadap hal tersebut.
b. Pasal 3 dan 11 ini tidak memberikan jawaban yurisdiksi
yang jelas terhadap klausula arbitrase yang bersifat rinci atau terbatas.
Terhadap
yurisdiksi arbitrase dan pengadilan baik pasal 3 dan pasal 11, seolah-olah
secara otomatis menegakkan yurisdiksi absolut arbitrase, jika dalam perjanjian
terdapat klausula arbitrase. Seolah-olah setiap klausula arbitrase yang
disepakati dianggap bersifat generalisasi, yang berakibat setiap klausula yang
disepakati semuanya dianggap berbentuk kalusula umum. Padahal secara hukum
membenarkan dan mensahkan asanmaya klausula yang bersifat rinci (enumeratif) maupun parsial atau
terbatas hanya untuk satu atau beberapa sengketa tertentu.
Disamping itu
permasalahan dalam perjanjian arbitrase
acapkali menyertai perjanjian pokoknya (kontrak-kontrak komersial) baik
nasional maupun internasional. Segi positif dengan klausula arbitrase yaitu
bahwa para pihak dapat memilih proses penyelesaian sengketa mereka kelak di
kemudian hari. Di dalam hal ini, mereka dapat pula merancang klausula tersebut
sedemikian rupa sehingga ketentuan-ketentuan (persyaratan arbitrase) yang di
dalamnya dapat memenuhi keinginan mereka.
Untuk dapat
merumuskan suatu klausula arbitrase yang sudah barang tentu peranan ahli hukum
atau ahli arbitrase akan banyak membantu. Karena dalam merumuskan suatu
ketentuan yang terdapat di dalam klausula arbitrase harus sangat berhati-hati
agar pihaknya atau kedua belah pihak sama-sama puas dan sama-sama tidak merasa
dirugikan. Dalam praktek di banyak negara berkembang seperti di Indonesia,
justru sering dibodohi. Sebagai contoh, seorang pemilik pabrik di Semarang
mengorder banyak sekali bahan yang diperlukan bagi ban becanyasampai
beraturs-ratus ribu US dollar. Ternyata yang dilever barangnya jelek tidak bida
melekat. Lapisan nilonnya tidak bisa menjadi satu dengan karetnya sehingga ia
sangat dirugikan. Dan ternyata dalam kontrak tercetak bahwa kalau terjadi
perselisihan harus dilakukan di Jepang menurut ketentuan Japan arbitration Association
(Adolf, 2002 : 20-21).
c. UU Tidak memberikan Jawaban atas permasalahan
Klausula Arbitrase yang Disertai dengan pemilihan Domisili PN Tertentu.
Baik sebelum
maupun sesudah UU Nomor 30 Tahun 1999 berlaku sering dan banyak dijumpai
perjanjian, dimana para pihak secara serentak mencantumkan kesepakatan klausula
arbitrase, namun bersamaan dengan itu dicantumkan kesepakatan pilihan domisili
dengan cara menunjuk PN tertentu untuk menyelesaikan sengketa.
Terhadap
klausula yang duplikatif timbul beberapa pendapat karena sering terjadi perumusan arbitrase yang
disertai pemilihan domisili PN, tetapi UU tidak memperdulikan hal itu. Beberapa
pendapat terhadap hal ini (Harahap,
2002 : 19) :
(1)
Percampuradukan antara klausula arbitrase dengan pilihan
domisili PN dalam perjanjian:
-
dianggap tidak mempengaruhi eksistensi klausula
arbitrase;
-
klausula domisili pilihan, dianggap tidak ada dalam
perjanjian, sehingga klausula yang ada hanya klausula arbitrase;
-
yurisdiksi penyelesaian sengketa, mutlak menjadi
kewenangan arbitrase.
(2)
Klausula tersebut melenyapkan atau menyingkirkan klausula
arbitrase, dengan alasan:
-
Kedudukan arbitrase dalam sistem peradilan adalah extra
judicial atau peradilan semu, sedangkan formal dan resmi sebagai PN yang
berkedudukan sebagai kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, meskipun UU memberi
wewenang kepada arbitrase menyelesaikan sengketa, hal itu tidak mengubah status
extra yudicial yang melekat pada dirinya. Sehubungan dengan hal itu apabila
terjadi ada perjanjian para pihak menyepakati klausula arbitrase yang disertai
pilihan domisili pilihan PN, klausula arbitrase dianggap tidak pernah ada dalam
perjanjian, dalam penyelesaian sengketa mutlak menjadi yurisdiksi PN.
-
Berdasar prisnisp lex
posterior derogat legi prior, yaitu dengan adanya klausula domisili sesudah
klausula arbitrase, klausula terakhir dengan sendirinya melenyapkan atau menyingkirkan
klausula yang mendahului yaitu klausula arbitrase. Dengan demikian yurisdiksi
yang sah dan berfungsi adalah yurisdiksi PN, karena yurisdiksi arbitrase telah
dikesampingkan berdasa asas tersebut
(3)
Kedua klausula dianggap sah menuruit hukum, sesuai dengan
porsi kewenangan masing-masing.
Perjanjian yang
dicantunkan atau mengandung klausula yang bercorak duplikatif antara klsusula
arbitrase dengan klausula domisili PN, tidak perlu saling dipertentangkan dan
juga tidak terjadi penyingkiran antara klausula yang satu dengan yang laian, yang terjadi
adalah pelaksanaan dan penerapan secara proporsional sesuai dengan yurisdiski
masing-masing dengan acuan:
-
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa, jatuh menjadi
yurisdiksi arbitrase;
-
pelaksanaan eksekusi atau putusan arbitrase jatuh menjadi
kewenangan PN yang disebut dalam
klausula perjanjian dengan jalan menyingkirkan asas actor sequitor forum rei yang digariskan dalam pasal 118 ayat (1)
HIR.
d.
Tidak mengatur
sistem koneksitas antara arbitrase dengan Pengadilan dalam Pelaksanaan Tindakan
Sementara.
Menurut UU No.
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka bila terjadi perkara
koneksitas antara hukum privat dan hukum publik maka hukum publik harus
diselesaikan dahulu ( Nugroho, 1998:
12). Sedangkan masalah yang tidak
mendapat perhatian mengenai koneksitas antara arbitrase dan pengadilan,
sehubungan dengan tindakan sementara yang diambil arbitrase. Menurut pasal 32
UU Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan:
-
Ayat (1) : Atas permohonan salah satu pihak arbiter atau majelis
arbiter dapat mengambil putusan provisional atau putusan sela lainnya untuk
mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita
jaminan,memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga atau menjual barang
yang mudah rusak;
-
Ayat (2) : Jangka waktu pelaksanaan putusan provisional
atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 48.
Pasal 32 di
atas memberi wewenang kepada arbitrase melakukan tindakan bersifat sementara
berupa penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak
ketiga dan penjualan terhadap barang yang mudah rusak melalui putusan sela yang
diajukan salah satu pihak ataupun majelis arbitrase. Namun tindakan itu tidak mengikat
kepada pihak ketiga karena tindakan penyitaan (conservatoir beslag) dan eksekusi (executorial beslag) tunduk pada ketentuan hukum publik yaitu
HIR.
Konsekuensi
dari hal di atas maka sita jaminan mempunyai kekuatan formal dan resmi bila
dilakukan PN sesuai ketentuan HIR. Sehingga ketentuan pasal 32 UU No. 30 tahun
1999 yang memberikan kewenangan bagi arbitrase melakukan penyitaan, tindakan
adalah tidak memiliki kekuatan formal dan resmi kepada pihak ketiga. Sehingga
apabila pihak tersita mengasingkan atau menjualnya kepada pihak ketiga, tidak berakibat
transaksi itu batal demi hukum. Penyitaan yang dilakukan arbitrase tanpa campur tangan atau bantuan PN
hanya mengikat para pihak, tetapi tidak mengikat pihak ketiga.
D.
Penutup
1.
Kesimpulan
Sesuai hasil
pembahasan di atas maka ditarik kesimpulan:
1)
Perlunya kajian terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999 karena
problema yang berkaitan dapat tidaknya hukum bekerja secara efektif menurut “Legal Theorie” dari Friedmann
terutama segi substansi hukum (legal formal), bahwa 3 (tiga) pilihan berkaitan UU No. 30
Tahun 1999 dalam kaitannya dengan kebebasan berkontrak di Indonesia yaitu :
pilihan hukum (choice of law),
pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicili) terdapat kelemahan yaitu pasal yang kurang
jelas, kurang pasti, kabur dan pengertian luas terhadap arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa serta ada materi yang belum diatur dengan baik
dan proporsional;
2)
Kajian terhadap UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dalam Kaitannya dengan Prinsip Kebebasan Berkontrak di Indonesia
(Perspektif Legal Formal) problema yang muncul adalah adalah:
a) Pilihan Hukum (Choice of Law)
UU Nomor 30 Tahun 1999
terdapat beberapa kelemahan yaitu
:
(1) Judul UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
merupakan konsep yang keliru atau salah karena merupakan :
(a)
Konsep yang terbalik, ketentuan alternatif penyelesaian sengketa (ADR)
seharusnya ada lebih dahulu baru arbitrase sehingga dengan demikian terwujud connected system antara ADR dengan
arbitrase;
(b) Arbitrase seharusnya merupakan bagian dari
alternatif penyelesaian sengketa (non litigasi), jadi bukan pengaturan
arbitrase terlepas dari ADR (pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999);
(2)
Perkara dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya ringan
adalah bersifat relatif serta kurang
sesuai prinsip accesible dan affordable,
hal karena penyelesaian UU No. 30 Tahun 1999 disebabkan:
(a)
Faktor kekakuan mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dikawatirkan justru terjadi jalan buntu (dead lock) dalam penyelesaiannya;
(b)
Faktor Budaya yang dianut masyarakat dalam menyelesaikan
sengketa.
(3)
Arbitrase merubah sistem penyelesaian sengkata di luar
pengadilan dari win-win solution
menjadi win-lose solution dengan
segala konsekuensi yang terjadi karena keputusan arbitrase bersifat final dan binding. Namun seperti ada kecenderungan pihak yang kalah
untuk mengkait-kaitkan perjanjian yang
dibuat menurut kebebasan berkontrak (pasal 1338 KUH Perdata) dengan bagaimana membatalkan putusan dari arbitrase
karena perjanjian yang dibuat tidak
memenuhi syarat sahnya perjanjian (misalnya pasal 1320 KUH Perdata) lewat
pengadilan negeri melalui upaya pembatalan keputusan yang diatur pasal 70
terutama mencari alasan tentang surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu, yang disembunyikan oleh pihak lawan dan
putusan yang diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam sengketa.
b) Pilihan Forum (Choice
of Jurisdiction) dan Pilihan Domisili (Choice
of Domicili)
(1)
Penerapan yurisdiksi adalah generalisasi dan absolut,
tanpa memperhatikan rumusan klausula yang disepakati dalam kontrak (Pasal 3 UU
No. 30 Tahun 1999) termasuk Anggaran Dasar BANI.;
(2)
Pasal 3 dan 11 ini tidak memberikan jawaban yurisdiksi
yang jelas terhadap klausula arbitrase yang bersifat rinci atau terbatas;
(3)
UU Tidak memberikan Jawaban atas permasalahan Klausula
Arbitrase yang Disertai dengan pemilihan Domisili PN Tertentu :
(a)
Percampuradukan antara klausula arbitrase dengan pilihan
domisili PN dalam perjanjian bahkan klausula tersebut melenyapkan atau
menyingkirkan klausula arbitrase;
(b)
Kedua klausula
dianggap sah menuruit hukum, sesuai dengan porsi kewenangan masing-masing;
(4)
Tidak mengatur sistem koneksitas antara arbitrase dengan
Pengadilan dalam Pelaksanaan Tindakan Sementara, dalam putusan sela yang
diajukan salah satu pihak ataupun majelis arbitrase. Namun tindakan itu tidak
mengikat kepada pihak ketiga karena tindakan penyitaan (conservatoir beslag) dan eksekusi (executorial beslag) tunduk pada ketentuan hukum publik yaitu
HIR. Konsekuensi dari hal di atas maka
sita jaminan mempunyai kekuatan formal dan resmi bila dilakukan PN sesuai HIR.
2.
Saran
1)
Perlunya aturan pelaksana yang jelas, bahwa 3 (tiga) pilihan berkaitan UU No. 30
Tahun 1999 dalam kaitannya dengan kebebasan berkontrak di Indonesia baik
pilihan hukum, pilihan forum dan pilihan
domisili disempurnakan peraturan pelaksana sehingga pasal yang kurang jelas,
kurang pasti, kabur dan pengertian luas terhadap arbitrase dan alternatif
penyelesaian secara yuridis teratasi termasuk materi yang belum diatur;
2)
Problema yang berkaitan
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Kaitannya dengan
Prinsip Kebebasan Berkontrak di Indonesia (Perspektif Legal Formal) perlu
dilakukan dengan :
a) Pilihan Hukum (Choice of Law)
UU Nomor 30
Tahun 1999 terdapat beberapa kelemahan
sehingga seharusnya adalah:
(1)
Judul UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa harus
mendahulukan unsur penyelesaian melalui mekanisme di luar pengadilan secara
urut yaitu : mediation, conciliation atau
expert determintion, dan bila tidak dapat tercapai baru ditempuh melalui
arbitrase;
(2)
Faktor kekakuan mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dihilangkan dengan pendekatan budaya dan penggunaan arbitrase
sedapat mungkin mendapatkan keputusan yang win-win
solution dan pihak yang kalah tidak mencari-cari dalih-dalih untuk membatalkan putusan seperti
diatur pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999;
b) Pilihan Forum (Choice
of Jurisdiction) dan Pilihan Domisili (Choice
of Domicili) :
(1)
Perlu memperhatikan penerapan yurisdiksi dengan
memperhatikan rumusan klausula yang disepakati dalam kontrak (Pasal 3 UU No. 30
Tahun 1999) termasuk Anggaran Dasar BANI;
(2)
Perlu jaminan
hukum melalui perjanjian memberikan jawaban atas permasalahan klausula
arbitrase yang disertai dengan pemilihan domisili PN.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, P (2002) Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan
Minatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative
Disputes Resolution – ADR/ Arbitration) Suatu Kajian, dalam Jurnal : Hukum Bisnis, Vol 21/
Oktober-November 2002
-------, (2003) Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolution – ADR), dalam
Newsletter No. 52/Maret/2003
Adolf, H (2002) Arbitrase
Komersial Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Fisher, R, et.al. (1991) Getting To Yes: Teknik Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksakan
Kehendak, dalam Hariyanto, D dan Situmorang G (Terj.), Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta
Fuady, M
(2002) Penyelesaian Sengketa Bisnis
Melalui Arbitrase, dalam Jurnal :
Hukum Bisnis, Vol 21/ Oktober-November 2002
Goodpaster
(1999) Panduan Negosiasi dan Mediasi,
dalam Togar Simanjuntak (Terj.), Ellips
Harahap,
M.Y (2002) Beberapa Catatan Yang Perlu
Mendapat Perhatian atas UU No. 30 tahun 1999, dalam Jurnal : Hukum Bisnis, Vol 21/
Oktober-November 2002
------- (2003) Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta
Munir, M (1997). Penggunaan Pengadilan Negeri Sebagai Lembaga
Untuk Menyelesaikan Sengketa Dalam Masyarakat
Kasus penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan tanah dalam masyarakat
di Kabupaten Bangkalan, Madura. Surabaya : Disertasi,Universitas Airlangga Program Pascasarjana.
Nugroho, J (1998) Diktat Kuliah : Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, STIH Jenderal Sudirman, Lumajang
Rahardjo, S. (1984) Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung.
Rahardjo, S. (1984) Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rahmadi, T (1996) Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
Lingkungan. Makalah Penataan Hukum Lingkungan 4-12 Januari 1996, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Rubai, M dan Sugiri, B (2003) Mata Kuliah Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Hand Out Penataran Alih Tahun T.A. 2003/2004, Program
Pascasarjana Univ. Brawijaya, Malang
Setiawan (2003) Beberapa Catatan Hukum tentang Klausula
Arbitrase, dalam Newsletter No. 52/Maret/2003
Setiono (1989) Hukum Perdata II (Perikatan yang Terjadi Karena Perjanjian dan yang terjadi Karena
Undang-Undang), Sebelas Maret University Press, Surakarta
Tim ELSAM dkk.
(2000) Legal Opinion (Critical Legal
Analysis ) terhadap UU Kehutanan No. 41
Tahun 1999, dalam Wacana : Edisis VI/2000, Insist
Vago, Steven, (1981), Law
and Sociaty, New York : Prentice – Hall. Inc.
Widiarto,
A.E. (2004) Prospek Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) Dalam Perspektif Hukum Adat Untuk Menyelesaikan
Konflik Pertanahan di Indonesia, dalam
Arena Hukum No. 22 Tahun 7, Maret 2004.
Widjaya, G
(2002) Seri Hukum Bisnis: Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Rajagrafindo Persada, Jakarta
*
Jati Nugroho,SH.MHum. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang
dan pengurus asosiasi pengajar HTN dan HAN Jawa Timur.