Jurnal Hukum ARGUMENTUM, VOL. 11 No. 1, Desember 2011
|
MODEL HUKUM PENGELOLAAN AIR IRIGASI OLEH KEARIFAN LOKAL BERBASIS BUDAYA
PANDALUNGAN
Jati Nugroho dan
Sriadi
- Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang -
ABSTRAK
Harapan pengakomodasian kearifan lokal
pengelolaan air irigasi melalui UU No. 7
Tahun 2004 merupakan produk hukum masa reformasi yang ditandai Orde Baru dengan
politik yang sentralistik tumbang pada tahun 1998. Saat ini Indonesia
menghadapi era otonomi daerah dengan serangkaian tantangan untuk mewujudkan
demokrasi yang partisipatif sekaligus meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan
keadilan. Hukum negara bukanlah satu-satunya hukum yang memonopoli atau
satu-satunya acuan yang mengatur hubungan sosial warga masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Upaya pengakomodasian kearifan lokal dalam konsep budaya
pandalungan dalam hukum negara dibutuhkan sebagai bentuk pengakuan negara atas
pluralisme hukum dalam pengelolaan air irigasi.
Kata kunci: Model
Hukum Pengeloaan Air Irigasi, Hukum Negara, Kearifan Lokal, Pluralisme Hukum
A.
Latar Belakang
Wadah
perkumpulan petani pemakai air di Jawa Timur adalah Himpunan Petani Pemakai Air
(HIPPA) melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2003 tentang
Irigasi yang merupakan Implementasi dari PP Nomor 77 Tahun 2001 yang masih berlaku
hingga saat ini, masih menempatkan
pihak berwenang sebagai pembagi air
irigasi dalam jaringan utama hingga saluran tersier. Padahal dalam ketentuan
Pasal 1 Perda Provinsi Jawa Timur sudah mengamanatkan bahwa HIPPA merupakan
kelembagaan pengelola irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu
daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani secara demokratis.
Dengan
mencermati konstitusi hak untuk mendapatkan air bertujuan untuk memberikan hak asasi manusia atas air (the right to water)
pada era otonomi daerah harus mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya. Model pengakomodasi kearifan lokal dalam
pengelolaan air irigasi tidak cukup dengan memasukkan begitu saja ke dalam
HIPPA sehingga harus taat dan tunduk aturan HIPPA.
Harapan
pengakomodasian kearifan lokal pengelolaan air irigasi melalui UU No. 7 Tahun 2004 merupakan produk hukum
masa reformasi yang ditandai Orde Baru dengan politik yang sentralistik tumbang
pada tahun 1998 saat Indonesia menghadapi era otonomi daerah dengan serangkaian
tantangan untuk mewujudkan demokrasi yang partisipatif sekaligus meningkatkan
kesejahteraan dan mewujudkan keadilan. Pergeseran kedudukan Pemerintahan dengan
praktek partisipasi warga menjadi penting dalam rangka mewujudkan demokrasi
yang bermakna secara substansial (substantial democracy). Demokrasi tingkat lokal berdasarkan local wisdom khususnya dalam pengelolaan sumber daya air
inilah yang sebenarnya menjadi modal
dasar negara Indonesia pada masa transisi dari masa pemerintahan Orde Baru yang
otoriter menuju pemerintahan demokratis masa reformasi.
Dengan mencermati
pelaksanaan pengelolan air irigasi di masyarakat petani yang belum mengakomodir
sepenuhnya kearifan lokal, maka ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD1945 sebagai
ketentuan normatif yang mewajibkan Pemerintah mengatur peruntukkan sumber daya
agraria dengan tujuan utama mewujudkan
kepentingan dan kemakmuran rakyat. Demikian pula daerah yang telah diberi
otonomi diamanatkan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 bahwa negara mengakui dan
menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup.
Demikian pula Pasal 41
ayat (3) UU No. 7 Tahun 2004 yang
mempertegas bahwa pengembangan sistem
irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab petani (Pasal 41 ayat (3)).
Pengaturan irigasi melalui ulu-ulu,
tuwawa, subak dll sebagai petani bukan Pemerintah ini menunjukkan konsep
hukum responsif yaitu terjadi pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke
prinsip-prinsip dan tujuan dengan lebih menekankan pluralisme hukum sehingga
hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial.[1]
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini
dirancang dalam 2 (dua) tahun pelaksanaan penelitian yang terdiri dari beberapa
perumusan masalah sebagai berikut:
a) Bagaimana
pengaturan model pengelolaan air irigasi dan menelaah fakta empirik yang
mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya dalam penyelesaian konflik pengelolaan air irigasi?
b) Apa motif-motif
konflik pengelolaan air irigasi dan faktor-faktor penyebabnya? Bagaimana pula perumusan pengaturan hukum
pengelolaan air irigasi yang berbasis pada alasan kearifan lokal menurut budaya
Pandalungan?
C.
Metode Penelitian
C.1. Paradigma Penelitian dan Metode Pendekatan
Penelitian ini menggabungkan paradigma penelitian hukum normatif (normative legal reseacrh) atau
penelitian hukum doktrinal[2], dan paradigma penelitian
hukum empirik (sociological/empirical
legal research) khususnya ethno legal
research. Paradigma penelitian hukum normatif dipakai untuk mengkaji hukum
dari sisi normatif yang mencakup: asas-asas hukum, sistematika hukum,
singkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, sejarah hukum, dan
perkembangan pembaharuan hukum terutama
dalam lingkup hukum pengelolaan air irigasi di Indonesia.[3] Sedangkan paradigma penelitian hukum empirik untuk
melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dan budaya hukum masyarakat yang bisa
dijadikan dasar pembentukan hukum.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ethno
legal research (antropologi hukum), yaitu untuk mengkaji model
pengelolaan air irigasi oleh HIPPA dan
kearifan lokal menurut budaya Pandalungan melalui peran tuwawa yang distrukturkan sebagai Bagian Teknik di bawah koordinasi
ketua HIPPA.
C.2. Analisis Data
Tahap analisis dan interpretasi data
menempati posisi yang cukup menentukan dalam penelitian ini. Analisis data
dilakukan dalam suatu proses, yang menurut Miles dan Huberman[4]
mensyaratkan peneliti bergerak dalam tiga siklus kegiatan, yakni reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis data sudah mulai
dikerjakan sejak pengumpulan data dilakukan secara intensif sampai setelah
selesai pengumpulan data. Proses analisis ini dilakukan hampir secara
berbarengan dengan interpretasi data yang dikerjakan dengan secepatnya tanpa
harus menunggu banyaknya data terkumpul.
D.
Pembahasan
D.1. Pengaturan Model Hukum Pengelolaan Air
Irigasi dan Efektivitas Penegakan Hukum dalam Penyelesaian Konflik Pengelolaan
Air irigasi
Dalam
konteks geopolitik dan geososio-kultural, masyarakat
pandalungan merupakan bagian dari
masyarakat tapal kuda.
Masyarakat tapal kuda
adalah masyarakat yang bertempat
tinggal di daerah
tapal kuda, yakni
suatu kawasan di Provinsi Jawa
Timur yang membentuk
lekukan mirip ladam atau
kasut besi kaki kuda.
Kawasan ini memiliki
karakteristik tertentu dan
telah lama menjadi
kantong pendukung Islam kultural
dan kaum abangan.
Pendukung Islam kultural
dimotori oleh para kiai
dan ulama, sementara
kaum abangan dimotori
oleh tokoh-tokoh dimotori oleh
tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam aliran
kepercayaan.
Implementasi pengaturan yang demikian juga berdampak pada
masyarakat pada tataran tingkat kabupaten Lumajang. Masyarakat pada awalnya
memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan air irigasi seiiring dengan laju
pemerintahan orde baru melalui UU No. 11 tahun 1974 dalam implementasinya telah
menggeser dan mengubah menjadi sentralisme hukum melalui Perda Provinsi Jawa
Timur Nomor 6 Tahun 2003 hingga saat ini hal itu tentunya sangat menarik untuk dikaji dalam
preskreptif antropologi hukum.
Selain mengkaji kasus-kasus sengketa dalam masyarakat,
studi-studi antropologis mengenai hukum juga memberi perhatian pada fenomena
kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, Cotterrel menegaskan: “We should think of law as a social
phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety
of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal
institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always
worked with pluralist conceptions of law.[5]
Hal di atas
berarti secara empiris dapat dijelaskan bahwa hukum yang berlaku dalam
masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga
berujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary
law). Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan
sendiri (inner order mechanism) atau self-regulation) dalam
komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang secara lokal
berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial.[6]
Dalam perspektif otonomi daerah, prinsip-prinsip pengelolaan
sumber daya alam harus mencerminkan adanya nuansa keotonomian masyarakat untuk
mengelola sumber daya alam di daerahnya. Karena itu, dalam konteks pengelolaan
sumber daya alam makna sesungguhnya dari kebijakan otonomi daerah yang diatur
dalam Pasal 136 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 (pengganti UU No. 22 Tahun 1999)
merupakan penyerahan otonomi pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat di
daerah, terutama masyarakat adat/lokal sebagai manifestasi dari paradigma
pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat (community based resources management). Makna hukum yang responsif
yang akan dibangun Pemerintah ditunjukkan melalui PP No. 77 tahun 2001 tentang
Irigasi pada Pasal 1 angka (15) dan penjelasannya dinyatakan:
“Perkumpulan petani
pemakai air (P3A) adalah kelembagaan pengelola irigasi yang menjadi wadah
petani pemakai air dalam daerah irigasi yang dibentuk petani secara demokratis
termasuk kelembagaan lokal pengelola air irigasi. Selanjutnya yang dimaksud
dengan kelembagaan lokal pengelola air irigasi adalah kesatuan masyarakat hukum
adat yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis tumbuh dan
berkembang sebagai kelompok/organisasi bidang tataguna air di lahan pertanian,
sepertu subak dan kelembagaan sejenis lain yang pelaksanaan pengaturan airnya
dilaksanakan antara lain oleh raja
bandar, tuo banda, jogotirto, pekaseh dan ulu-ulu.”[7]
Berbeda dengan ketentuan di atas, PP Nomor 42 Tahun 2008
tentang sumber Daya Air, pada Pasal 75 ayat
(4) Hak guna pakai air yang diperoleh tanpa izin hanya diperuntukkan
pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian
rakyat yang berada di dalam sistem irigasi yang sudah ada.[8] Dengan
demikian Pemerintah memaknai Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di masa
reformasi diberi ruang gerak dan tempat oleh hukum negara kepada masyarakat
hukum adat dalam mengelola air irigasi sesuai kearifan masyarakat setempat.
Hal senada juga telah dinyatakan Kepmendagri No. 50
Tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayaan
P3A, bahwa P3A merupakan wadah perkumpulan petani pemakai air merupakan
himpunan bagi petani pemakai air yang bersifat sosial ekonomi, budaya dan
berwawasan lingkungan. Ini berarti pluralisme hukum telah diakomodasi kearifan
lokal oleh hukum nasional sebagai bentuk pengakuan atas asas desentralisasi.[9]
Pengaturan sumber daya air melalui UU No. 7 Tahun 2004
lebih mempertegas bahwa pengembangan
sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab petani (pasal 41 ayat
(3)). Pengaturan irigasi melalui tuwawa
sebagai petani bukan pemerintah ini menunjukkan konsep hukum responsif yaitu
(a) terjadi pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan
tujuan dengan lebih menekankan pluralisme hukum; dan (b) pentingnya kerakyatan
baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya bukan sisi kepastian
hukum saja.
Hal ini menuntut institusi yang responsif, yaitu
institusi yang tetap memiliki pegangan atas apa
yang esensial bagi integritasnya sambil memperhitungkan
kekuatan-kekuatan baru dalam lingkungannya. Dalam sistem yang responsif
bertujuan tersebut, maka legalitas adalah pengurangan yang progesif terhadap
kesewenang-wenangan dalam hukum positif dan dalam administrasinya.[10]
Pilihan
hukum yang dilakukan pemerintah tidak lepas dari Pemaknaan mengakomodir
kearifan lokal masyarakat petani dilakukan pemerintah nampak dengan
menstrukturkan yang menjadi bagian HIPPA dianggap sebagai bentuk menghormati
pluralisme hukum bukan sebagai sistem berdiri sendiri. Disamping itu konteks
hukum adat dianggap mengalami krisis yang berkonotasi bahwa hukum adat stagnant (mandeg).
Struktur masyarakat
Indonsesia yang mejemuk berimplikasi pada sistem hukum yang ada dan berlaku di
Indonesia, yakni sistem hukum yang plural, dimana hukum jalam kolonial masih
dipertahankan dan hukum adat juga diakui dan berlaku, disamping usaha
pemerintah untuk membentuk hukum nasional yang cenderung untuk melakukan
unifikasi secara sentralistik. Kerumitan persoalan hukum yang kita hadapi saat
ini tidak dapat dilepaskan dari adanya pluralisme hukum dalam masyarakat. Dalam
konteks Indonesia menurut Sulistyowati Irianto[11] masalah pluralisme hukum mengacu pada 4 (empat) hal
yakni:
1)
Kompleksitas pluralisme hukum dalam sistem hukum negara
maupun sistem hukum rakyat.
Dalam kehidupan sehari-hari selalu saja dapat
kita jumpai adanya bermacam-macam sistem hukum lain disamping hukum negara,
yaitu hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasaan kesepakatan-kesepakatan atau
konvensi sosial lainnya yang sudah dihayati sebagai “hukum’ oleh masyarakat.
Dengan perkataan lain hukum negara bukanlah satu-satunya hukum yang memonopoli
atau satu-satunya acuan yang mengatur hubungan-hubungan sosial warga masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari.
2)
Warga masyarakat dapat menanggapi suatu aturan hukum
dengan cara berbeda tergantung pengetahuan, kepentingan dan terutama budayanya.
Masalah
pluralisme hukum tidak hanya terdapat pada adanya keanekaragaman hukum tetapi
juga pada individu-invividu yang menjadi subyek lebih dari sistem hukum. Karena
setiap orang mempunyai pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan-kepentingan
(sosial, politik, ekonomi) atau lebih tepatnya budaya hukum yang juga berbeda.
3)
Masalah penegakan hukum dalam praktek seringkali berbeda
dengan yang dikehendaki oleh peraturan hukum yang normatif. Banyak bidang
kehidupan yang secara normatif yang sudah diatur secara baik dalam berbagai
peraturan perundang-undangan namun karena berbenturan dengan lasan-alasan di
luar hukum (politik, ekonomi) menyebabkan aturan tersebut tidak dapat
sepenuhnya dilaksanakan dalam praktek. Dalam hal ini praktek penegakan hukum
yang terbebani oleh faktor politik dan ekonomi menjadi “penanam saham” keterpurukan
kondisi hukum secara keseluruhan.
4)
Peranan hukum adat dalam hukum nasional yang tidak dapat
diabaikan.
D.2. Konflik Pengelolaan Air Irigasi
Guna mendukung
pembangunan hukum di Indonesia diatur dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 pada Bagian G.
Hukum dan Aparatur menyatakan pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum
nasional sesuai yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tetap memerhatikan kemajemukan
tatanan hukum yang berlaku. Dengan demikian politik hukum yang makro dirumuskan
dalam suatu peraturan dasar, yang dalam susunan peraturan perundang-undangan
ditempatkan sebagai peraturan yang tertinggi, yakni Undang-Undang Dasar 1945
(termasuk Pembukaan), sebagai konstitusi.
Keberpihakan masyarakat
petani budaya pandalungan terhadap pengelolaan air irigasi dalam penyelesaian
konflik masyarakat petani sepakat memilih tuwawa
sebagai penyelesai. Interaksi hukum negara dan kearifan lokal dalam pengelolaan
air irigasi mengakibatkan adanya saling mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki
hukum yang satu dengan hukum yang lain termasuk model pengelolaannya. Bentuk interaksi yang terjadi menurut Soemardjan dan Soemardi adalah
pertikaian (conflict).[12] Konflik hukum dalam interaksi antara hukum negara melalui
peran yang dijalankan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) dan kearifan lokal
melalui peran tuwawa dalam pengelolaan
air irigasi di Kabupaten Lumajang terjadi karena HIPPA sebagai satu-satunya
lembaga pengelola air irigasi menimbulkan
adanya perlawanan/resistensi masyarakat petani terutama para pembanyon. Hal itu karena jauh sebelum
HIPPA terbentuk, masyarakat sudah mengenal sistem pengelolaan air irigasi dari
turun-temurun dari pendahulunya melalui peran tuwawa (ada yang menyebut
dengan istilah lain yaitu ulu-ulu/jogotirto) bersama para pembanyon yaitu orang yang mengairi
sawah yang menjadi garapannya.
Oleh karena itu, perlu
ada upaya untuk membuat konsep kebijakan hukum sumber daya air tentang model
pengelolaan air irigasi berdasarkan kearifan lokal yang dilandasi oleh kajian
teoritik-empirik dalam rangka menanggulangi konflik pengelolaan air irigasi di
Kabupaten Lumajang. Penelitian di bidang Hukum Antropologi menggarisbawahi
mengenai Semi Autonomous Social
Field yang begitu signifikan dalam memainkan peranannya dalam
menciptakan ketertiban dan kepatuhan di tengah-tengah masyarakat. Selanjutnya dikemukakan Falk Sally Moore: “Social fields typically studied by anthropologists are
semi-autonomous: they can generate customs, rules and symbols internally but
are 'vulnerable to rules and decisions and other forces' from the wider world.”[13]
Berbagai permasalahan sumberdaya air antara
lain adalah disebabkan pertama faktor
kurang Jelasnya Ketentuan Hak Penguasaan Air. Pemerintah memang sebenarnya
telah menetapkan susunan prioritas penggunaan air dengan urutan kepentingan
sebagai berikut: (1) air minum, rumah tangga, pertahanan/keamanan, peribadatan,
dan usaha perkotaan; (2) pertanian dalam arti luas yaitu termasuk peternakan,
perkebunan dan perikanan; dan (3) ketenagaan, industri, pertambangan, lalu
lintas dan rekreasi. Akan tetapi pada kenyataannya, urutan prioritas yang kedua
yakni pertanian, sering dikalahkan oleh urutan prioritas ketiga seperti
misalnya untuk kebutuhan pembangunan industri. Dalam hal seperti ini,
keberlanjutan pertanian di hilir sungai bisa terancam akibat pemberian izin
oleh pemerintah atas pengambilan air di hulu sungai untuk keperluan industri
yang tidak jarang menimbulkan pencemaran sungai. Kedua, Kelemahan dalam Kebijaksanaan Sumberdaya Air.
Kebijaksanaan
pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia
selama ini masih mengandung beberapa kelemahan, antara lain (1) masih
berorientasi pada segi penyediaan (supply-side
management); (2) lebih menekankan pada pengembangan satu sistem irigasi dan
kurang memperhatikan keterkaitan hidrologis antar sistem dalam satu sungai; (3)
lebih berorientasi pada pengembangan jaringan utama sistem irigasi; dan (4)
arena pengelolaan air ada pada tingkat sistem irigasi bukan pada tingkat
sungai.
Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas
manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang
lain, yang dari hari ke hari dan tahun
ke tahun selalu mengikuti pola-pola
tertentu berdasarkan adat tata perilaku, karena adat berfungsi sebagai pengatur
perilaku. Adat dapat dibagi secara lebih khusus dalam empat tingkat yaitu; (1)
tingkat nilai budaya, (2) sistem nilai, (3) tingkat hukum, (4) tingkat aturan
khusus.
Tingkat pertama adalah lapisan yang paling
abstrak dan luas ruang lingkupnya.
Tingkat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan
hal-hal yang bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi ini
sangat luas dan kabur, tetapi walaupun kabur dan tidak rasional biasanya
berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia.
Nilai
gotong royong mempunyai konsep amat luas karena hampir semua karya manusia
biasanya dilakukan dalam rangka kerja sama dengan orang lain. Konsep ini
berarti bahwa semua kelakukan manusia
yang bukan bersifat bersaing atau
berkelahi adalah baik. Dalam pengelolaan irigasi antara pembanyon seperti membersihkan saluran/parit kuarter sudah
biasa dilakukan nya meskipun aturan normatif yang diatur dalam AD/ART
menyebutkan memupuk rasa senasib dan sepenanggungan untuk meningkatkan rasa
kekeluargaan, persatuan dan kesatuan di kalangan petani. Para individu sejak kecil telah diresapi
dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga
konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah
sebabnya nilai-nilai budaya di masyarakat petani sukar diganti dengan
nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat.
Tingkat adat yang kedua dan lebih kongkrit
adalah sistem nilai. Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah
terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan
manusia dalam kehidupannya adalah banyak dan manusia sering berubah peranan
dari hari ke hari.
E. Penutup
E.1. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan berkaitan model hukum pengelolaan air irigasi menurut kearifan
lokal berbasis budaya pandalungan disimpulkan:
1) Secara substansial
pengaturan model hukum pengelolaan air irigasi menunjukkan bahwa keberadaan
Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 15 Tahun 1986 yang diimplementasikan Peraturan
Daerah No. 10 Tahun 1997 beserta Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rumah Tangga
(ART) dari HIPPA Gabungan se-Kabupaten Lumajang dalam tataran politik hukum
secara mikro yang memarginalkan masyarakat petani dalam pengelolaan air irigasi
berdasarkan kearifan lokal tidak sesuai UU Nomor 7 Tahun 2004 sehingga hukum
pengelolaan irigasi lokal tradisional yang diperankan tuwawa atau ulu-ulu dalam
budaya pandalungan berada di bawah hirarki hukum pengelolaan irigasi nasional
melalui Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA). Secara faktual bahwa pilihan hukum
seperti ini karena pemaknaan mengakomodir kearifan lokal masyarakat petani
dilakukan pemerintah daerah nampak dengan menstrukturkan yang menjadi bagian
HIPPA dianggap sebagai bentuk menghormati pluralisme hukum sehingga tidak mampu
menyelesaikan konflik hukum pengelolaan air irigasi di masyarakat petani.
2)
Motif konflik
pengelolaan air irigasi pada hakekatnya
Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang dalam memberi perlindungan hak asasi manusia atas air (the right to
water) melalui pengakuan pluralisme hukum pengelolaan air irigasi pada masyarakat petani masih sebatas keinginan saja. Legalitas pengelolaan
sumberdaya air di Jawa Timur khususnya Kabupaten Lumajang yang merupakan budaya
pandalungan masih belum mengindikasikan sinkronisasi hukum atas peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Padahal kelembagaan pengelola air irigasi di
masyarakat petani lebih karena faktor nilai budaya masyarakat petani yang
menunjukkan hubungan manusia dengan sesama sesuai karakter budaya masyarakat Pandalungan
yaitu berdasarkan nilai gotong royong dan tepa slira. Hukum yang ideal berasal dan
terletak dari jiwa dan kesadaran masyarakat itu sendiri.
E.2.
Saran-saran
1)
Secara
substansi Pemerintah Kabupaten Lumajang harus merevisi Peraturan Daerah Nomor
10 Tahun 1997 yang telah mengabaikan begitu saja keberadaan kearifan lokal
berbasis budaya pandalungan dengan mengakamodir tuwawa dalam pengelolaan air irigasi. Maka rumusan yang mengatur
pengelolaan air irigasi dilakukan oleh HIPPA ditambah kalimat atau organisasi
yang sejenis dengan itu. Dengan demikian
legal gap yang dapat menyebabkan
konflik dalam pengelolaan air irigasi dapat dieliminir.
2)
Motif konflik pengelolaan air irigasi dapat
dielimir Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang dengan memberi perlindungan hak asasi manusia atas air (the right to water) melalui
pengakuan pluralisme hukum
secara kuat (strong legal pluralism). Disamping
itu nilai-nilai yang tumbuh dari kearifan lokal pengelolaan air irigasi berbasis budaya pandalungan
berorientasi horisontal masyarakat petani yang menunjukkan hubungan
manusia dengan sesama berdasarkan nilai gotong royong dan tepa slira. Pengelolaan air irigasi di masyarakat budaya
pandalungan terciptanya hukum yang ideal adalah hukum yang berasal dan
terletak dari jiwa dan kesadaran masyarakat itu sendiri, bukan berasal dari
penguasa semata tiba-tiba dijalankan begitu saja.
-----
DAFTAR
PUSTAKA
Ambler,
J.S. 1991a. P3A di Indonesia, Tradisi dan
Masa Depan, dalam Effendi Pasandaran (Ed), Irigasi di Indonesia, LP3ES, Jakarta
Benda
Beckman, F. von. 1990. Changing Legal
Pluralism in Indonesia, With International Symposium Commision on Folk Law and
Legal Puralim, Ottawa
Budiharjo,
S. 2002. Paradigma pengelolaan sumber daya air dalam era otonomi daerah, dalam
Pengelolaan Sumber Daya air dalam Otonomi
Daerah (Penyunting: Robert J. Kodoatie), Andi, Yogyakarta
Friedman,
L.M. 1975. Legal System : A Social
Science Perspective, Russel Foundation, New York
Friedrich, C.J. 2004. Filsafat Hukum Perspektif
Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung
Hoebel,
E..A. 1983. The Law of Primitive Man,
New York, Harvard University Press, AS
Husono, A, Dj. 2009. Karakter Produk Hukum (Suatu Telaah dalam
Perkembangan Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia), Program Pascasarjana Prodi Ilmu Hukum
Univ. Sebelas Maret, Surakarta.
Ichromi,
T.O. 1989. Kajian Terhadap Hukum Dengan
Pendekatan Antropologi: Catatan-Catatan Untuk Peningkatan Pemahaman Bekerjanya
Hukum Dalam masyarakat, FH-UI, Jakarta
Irianto,
S. 2001. Kesejahteraan Sosial dalam
Pandang Pluralisme Hukum (Suatu Tema Non Sengketa dalam Perkembangan Terakhir
Antropologi Hukum 1980-1990-an), dalam
Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai (Penyunting:
T.O. Ichromi), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Koentjaraningrat.
1982. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas
dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta
Moleong,
L.J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung
Moore,
S.F. 1978. Law and Social Change : Tht
Semi Autonomous Social Field as An Approprite Subject of Study, Routledge
& Kegan, London
Nader,
L & Todd, HF. 1978. The Disputing Process Law in Ten Societies,
Colombia University Press, New York
Nonet
& Selznick. 1978. Law and Societies
in Trasition : Toward Responsif Law, Harper Tosch Books
Poerwanto, H. 2006 Kebudayaan
dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Soemardjan,
S dan Soemardi. 1964. Setangkai Bungai
Sosiologi, Yayasan BP FE - UI, Jakarta
Sudjito, Refleksi
Kebangsaan Tinjauan Kehidupan Berbangsa Masa Kini dan ke Depan, Suara
Karya, 29 Desember 2010.
Sulastriyono, 2008. Pembangunan Hukum
Sumber Daya Air Sungai yang Berbasis Kearifan Lokal: Peluang dan Tantangannya,
dalam Mimbar Hukum, Vol. 20, No. 3, Oktober 2008.
Sutarto,
A. 2004. Pendekatan Kebudayaan: Wacana
Tandingan untuk Mendukung Pembangunan di Provinsi Jawa Timur, dalam Pendekatan Kebudayaan dalam pembangunan Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Provinsi
Jatim bekerjasama dengan Kompyawisda, Jember
Up
Hoff, N. 1980. Improving International Irrigation Management with
Farmer Participation : Getting The
Process Right, Studies in Water
Policy and Management, No. 11/1996,
Westview Press, Colorado, AS.
[1]
Phillips Nonet & Phillips Selznick, Law
and Societies in Trasition : Toward Responsif Law, Harper Tosch Books,
1978, hal. 88.
[3] Soerjono
Soekanto dan Mamuji, Penelitian Hukum
Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 14
[5] Roger Cotterrel, Law’s Community, Legal Theory in
Sociological Perspective, Clarendo Press, Oxford, 1995 hlm. 306.
[6] F. von Benda-Beckmann, “From The Law of Primitive Man to Social-Legal Study of Complex Societies”, dalam Antropologi
Indonesia, Majalah Antropologi Sosial dan Budaya No. 47 Tahun XIII, FISIP
UI, Jakarta, 1989, hlm. 67-75.
[7]
Pasal 1 angka (15) dan Penjelasannya
[8] Pasal
75 ayat (2) PP No. 42 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air
[9]
Pasal 3 Kepmendagri No. 50 Tahun 2001
tentang Pedoman Pemberdayaan P3A
[10]
Phillips Nonet & Phillip Selznick, Log.Cit.,
hlm. 88, 108.
[11]
Sulistyowati Irianto, Op.Cit. hlm.
80-83.
[12]
Selo Soemardjan dan Soemardi, Log.Cit.,
hlm. 177
[13]
Falk Sally More, Log.Cit. hlm. 26.
apakah ada SK atau peraturan yang menentukan pemberhentian atau pergantian pengurus HIPPA?
BalasHapus