Rabu, 23 Mei 2012

KAJIAN KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KAITANNYA DENGAN PRINSIP KEBEBASAN BERKONTRAK DI INDONESIA (PERSPEKTIF LEGAL FORMAL)

Jurnal Hukum ARGUMENTUM, Vol. 5 No.1, Desember 2005
KAJIAN KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG  NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KAITANNYA DENGAN PRINSIP KEBEBASAN BERKONTRAK DI INDONESIA
(PERSPEKTIF LEGAL FORMAL)
Oleh : Jati Nugroho*

ABSTRAK
Kajian terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999 terutama  dari segi substansi hukum (legal formal),  menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) pilihan dalam kaitannya dengan kebebasan berkontrak di Indonesia yaitu : pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicili). Dilihat dari sisi legal formal, UU tersebut terdapat kelemahan yaitu pasal yang kurang jelas, kurang pasti, kabur dan pengertian luas terhadap arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa serta ada materi yang belum diatur dengan baik dan proporsional.

A.     Latar Belakang
Menurut American Institute- American Bar Association sampai bulan Oktober 1994 jumlah perkara yang masuk di Federal District Courts di USA ada sekitar 250.000 dan sekitar 1.000.000 civil casus di State Courts dan telah menalan biaya sekitar US$ 300.000.000.000 (tiga ratus milyar US$) per tahunnya dimana sebesar US$ 80.000.000.000 untuk biaya litigasi sipil. Waktu yang diperlukan untuk penyelesaian mencapai sekitar 6 tahun di pengadilan pertama dan sekitar 3 sampai dengan 4 tahun untuk memperoleh putusan akhir melalui apel dan kasasi. Waktu tunggu sampai perkara mulai disidangkan di pengadilan pertama  rata-rata 3 tahun. Tidak diketahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara di pengadilan Indonesia, akan tetapi sebagai contoh ialah perkara sengketa rumah yang diduduki tanpa hak oleh pihak lain dimulai pemeriksaan perkaranya di Pengadilan Negeri tahun 1972 sampai dengan tahun 2000 (28 tahun) belum memperoleh putusan akhir dan kalau kemudian diputus untuk eksekusipun diperlukan waktu dan biaya yang sulit diduga (Abddurrasyid, 2002 : 1).
Alasan ini menyebabkan banyak negara kini berpaling kepada apa yang disebut Alternative Disputes Resolution (ADR) atau Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif (MPSSK) atau Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS). Penyelesaian melalui ADR ini untuk sengketa bidang hukum privat di berbagai bidang industri, keuangan, perdagangan ataupun bidang lain yang telah disepakati.
Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya  dan kesepakatan yang dicapai harus ditaati para pihak (Widjaja, 2002 : 2). Penyelesaian persetujuan dilakukan secara damai tanpa ada yang kalah (win-win solution) ini menurut pasal 1 ayat (10) UU No. 30 Tahun 1999 dapat dilakukan melalui negosiasi, mediasi, rekonsiliasi  yang tentunya hasil yang dicapai tidak dapat digeneralisasi (Fisher et.al, 2000 : xix).).
Apabila langkah di atas tidak tercapai maka dilakukan melalui arbitrase. Hal itu didasarkan pada  pemikiran bahwa  langkah penyelesaian alternatif di luar pengadilan tersebut oleh para pihak yang berkontrak, antara lain disebabkan oleh adanya keinginan keluar dari proses litigasi melalui hukum acara pengadilan yang bersifat kaku, berlarut-larut dan memakan waktu yang lama. Keinginan para pihak untuk memilih atau menentukan secara langsung para wasit yang diyakini mempunyai kemampuan khusus akan memeriksa dan memutus  sengketa tersebut. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga mengikat para pihak (pasal 60 ayat (1)).
Para pihak yang terikat pada perjanjian harus memperhatikan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Sedangkan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya (pasal 1338 KHU Perdata).
Prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang diakui dalam pasal 1338 KUH Perdata tidak saja memberikan kebebasan berkontrak untuk mengajukan poin-poin perikatan yang akan disepakati dan dilaksanakan bersama dalam kontrak, akan tetapi memberikan juga kebebasan kepada para pihak tersebut untuk memilih ataupun menyepakati langkah proses penyelesaian sengketa  di luar pengadilan (non litigasi) sebagai alternatif  penyelesaian sengketa.
Para pihak dalam suatu kontrak dapat menentukan sendiri beberapa pilihan kontrak  yang meliputi (Fuady, 2002  : 88) :
(1)     Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini  para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut;
(2)     Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan dan forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut;
(3)     Pilihan domisili (choice of domicili), dalam hal ini  masing-masing pihak melakukan penunjukan dimanakah domisili hukum para pihak tersebut.
Kesepakatan untuk memilih arbitrase  sebagai suatu lembaga hukum alternatif dalam menyelesaikan setiap bentuk sengketa yang muncul dari kontrak  yang telah ditandatangani, tidak saja dapat disepakati ataupun dinyatakan para pihak  secara tertulis dalam kontrak tersebut atau sebelum sengketa tersebut terjadi (factum de compromitendo), akan tetapi dapat juga disepakati secara tertulis kemudian setelah perselisihan tersebut terjadi (akta kompromi).
Dapat tidaknya hukum bekerja secara efektif menurut “Legal Theorie” dari Friedmann salah satunya dapat ditinjau dari segi substansi hukum (legal formal) yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999. Secara teoritis dan praktis baik 3 (tiga) pilihan berkaitan UU No. 30 Tahun 1999 yaitu : pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicili) terdapat kelemahan yaitu pasal yang kurang jelas, kurang pasti, kabur dan pengertian luas terhadap arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sehingga timbul masalah yang perlu dikaji. Bahkan ada beberapa masalah/problema  yang belum diatur dengan baik dan proporsional sehingga dapat menimbulkan permasalahan hukum (Harahap, 2002 :1).

B.     Permasalahan
Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah :
-          Mengapa perlu kajian kritis terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam kaitannya dengan prinsip kebebasan berkontrak di Indonesia (perspektif legal formal)?

C.     Kajian Kritis terhadap UU No. 30 tahun 1999 tentang  Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Kaitannya dengan Prinsip Kebebasan Berkontrak di Indonesia (Perspektif Legal Formal)
Para pihak dalam suatu kontrak menentukan sendiri beberapa pilihan kontrak, dan beberapa permasalahan hukum yang perlu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam adalah:
1.       Pilihan Hukum (Choice of Law)
 Pada prinsipnya para pihak diberi kebebasan menentukan sendiri hukum mana yang berlaku dalam perjanjian sesuai prinsip kebebasan berkontrak. Menurut ketentuan pasal 1338 KUH Perdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi yang mebuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata adalah :
(1)     sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
(2)     kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(3)     suatu hal tertentu;
(4)     suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat  subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri atau obyeknya dari perbutan hukum yang dilakukan. Tidak terpenuhinya syarat subyektif maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat-syarat obyektif maka perjaian itu batal demi hukum.
Meskipun demikian batasan yang harus dipahami para pihak dalam berkontrak adalah:
-        tidak melanggar ketertiban umum;
-        hanya di bidang hukum kontrak;
-        tidak boleh mengenai hukum kontrak kerja;
-        tidak boleh mengenai ketentuan hukum publik.
Penempatan klausula pilihan hukum kontrak mempunyai arti penting untuk:
-        sebagai sarana untuk menghindari ketentuan hukum yang memaksa yang tidak efisien;
-        untuk meningkatkan persaingan yurisdiksi;
-        memecahkan masalah peraturan berbagai negara.
UU Nomor 30 Tahun 1999 secara teoritis dan praktis, terdapat kelemahan pasal yang kurang jelas, kurang pasti, kabur dan pengertian luas. Hal itu terjadi karena  perundang-undangan yang menghasilkan peraturan akan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1)   Bersifat umum dan komprehensif yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;
(2)  Bersifat universal yang diciptakan untuk menghadapi peristiwa yang akan datang yang belum jelas kongkritnya. Oleh karena itu tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja;
(3) Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali (Rahardjo, 2000 : 83-84).
Lebih lanjut  menurut Rahardjo (2000 : 85) dikatakan bahwa suatu UU yang demikian terdapat beberapa kelemahan yaitu :
(1)     Kekakuan.
 Kelemahan ini sebetulnya segera tampak sehubungan dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian hukum. Apabila kepastian ini hendak  dipenuhi, maka ia harus membayarnya dengan membuat rumusan-rumusan yang jelas, terperinci dan tegas dengan resiko menjadi norma yang kaku;
(2)     Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum.
Ketentuan ini  mengandung resiko bahwa ia mengabaikan  dan bahkan memperkosa perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu saja. Terutama sekali dalam suasanan kehidupan modern yang cukup kompleks dan spesialistis rasanya sangat sulit untuk membuat peraturan yang bersifat generalisasi. Bahkan dalam beberapa hal belum diatur secra proporsional sehingga menimbulkan permasalahan hukum dalam praktik.
a.    Judul UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif  Penyelesaian Sengketa merupakan konsep yang keliru atau salah
1) Konsep yang terbalik
Ketentuan  alternatif penyelesaian sengketa (ADR) seharusnya ada lebih dahulu baru arbitrase sehingga dengan demikian terwujud connected system antara ADR dengan arbitrase dengan acuan penerapan : sengketa lebih dahulu diselesaikan melalui ADR seperti mediation, conciliation atau expert determintion, dan bila tidak dapat tercapai baru ditempuh melalui arbitrase.
2) Arbitrase seharusnya merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa (non litigasi)
Sebenarnya arbitrase merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, jadi bukan arbitrase terlepas dari ADR. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999  dinyatakan bahwa: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian  arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.”
Sedangkan pasal 1  ayat (10) UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan : “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau pendapat ahli.”
Dari kedua hal tersebut di atas nampak bahwa arbitrase merupakan bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan. Sehingga seharusnya arbitrase bukan berdiri sendiri, melainkan rumusan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dinyatakan dalam   UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dilakukan melalui : a) konsultasi, b) negosiasi, c) mediasi, d) konsiliasi, e) pemberian pendapat hukum, dan f) arbitrase, sebagai bagian yang sama.
Disamping itu UU Nomor 30 tahun 1999 lebih memberikan pengaturan tentang arbitrase dalam materi cukup banyak, sehingga terkesan UU ini sengaja diciptakan hanya untuk membahas tentang arbitrase saja. Bahkan peraturan berkaitan alternatif penyelesaian sengketa tidak diberi prosi yang cukup dalam UU tersebut. Seperti mediasi (sekarang diatur dalam Perma No. 2 Tahun 2003) tidak diberi  penjelasan yang cukup mekanisme penyelesaian sengketa.
Seharusnya dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 juga memberikan dalam batasan mana alternatif penyelesaian sengketa dapat  dilakukan serta menampakkan urutan proses penyelesaian sengketanya. Dalam mediasi pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasip dan sama sekali tidak memberikan suatu masukan apalagi memutuskan perselisihan yang terjadi dan bila tidak dapat tercapai meningkat menjadi konsiliasi. Dalam konsiliasi, maka pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seorang yang secara professional sudah dapat dibuktikan kehandalannya, bila proses ini tidak dapat tercapai baru ke arbitrase.  Untuk arbitrase, dilakukan seorang arbiter yang berperan aktif sebagaimana halnya seorang hakim, dan keputusan yang diambil bersifat binding dan final. Jadi adalah  tidak tepat penyelesaian dimulai dengan arbitrase baru kemudian ADR (Widjaja, 2002 : 2-3).
Untuk lebih mempertegas bahwa seharusnya tidak langsung melalui arbitrase dapat dikemukakan disini adalah penyelesaian sengketa pertanahan misalnya ada 2 (dua) cara untuk menyelesaikan  sengketa  yang disebabkan pemakaian tanah hutan  menurut UU Kehutanan Tahun 1999 ini. Pertama, melalui pengadilan maupun di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Jika di luar pengadilan tidak tercapai kesepakatan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan (pasal 74 ayat 1 dan 2).
Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan (selain delik) dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi dan atau mengenai bentuk  tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan (pasal 75 ayat 2). Proses yang dilakukan berdasarkan a) konsultasi, b) negosiasi, c) mediasi, d) konsiliasi, e) pemberian pendapat hukum, dan f) arbitrase sebagaimana UU No. 30 tahun 1999, apalagi masalahan tanah merupakan masalah yang pelik.
Menurut pasal 75 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dapat ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa kehutanan di luar pengadilan adalah :
1)       pihak ketiga yang ditunjuk para pihak;
2)       pendampingan organisasi nonpemerintah (LSM) yang bergerak di bidang kehutanan.
Sedangkan dalam penjelasan pasal 32 UU No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, ditentukan bahwa para pihak yang berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga yang netral meliputi yang tidak memiliki kewenangan dan yang memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan, yaitu :
1) Pihak ketiga yang netral berfungsi sebagai pihak yang memfasilitasi para pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapai kesepakatan.
Syarat pihak ketiga ini adalah :
a)       disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
b)       tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa;
c)       memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan;
d)       tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
2). Pihak ketiga yang netral yang memiliki kewenangan mengambil keputusan berfungsi sebagai arbiter, dan semua putusan arbitrasi ini bersifat tetap dan mengikat para pihak yang bersengketa.
Dari UU di atas nampak seharusnya arbitrase dilakukan setelah upaya yang dilakukan alternatif penyelesaian sengketa lainnya tidak mampu untuk mengatasi masalah yang ada dengan ketentuan sengketa yang timbul adalah sesuai Anggaran Dasar BANI yaitu sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan dan lain-lain baik yang bersifat nasional maupun internasional.
b.      Perkara dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya ringan adalah  bersifat relatif  serta kurang sesuai  prinsip accesible dan affordable
1) Faktor kekakuan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan 
Alasan utama orang memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan karena cara penyelesaiannya dianggap lebih cepat dan tepat, mengurangi biaya dan waktu serta menjaga kebersamaan. Hal terlihat dari cara penyelesaiannya ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa menuju win-win solution daripada harus diselesaikan lewat pengadilan yang mendatangkan win-lose solution belum lagi menyangkut waktu dan biaya.
Tetapi bila dikaji mendalam alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 sebagai berikut:
(1)     Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara liligasi di Pengadilan Negeri;
(2)     Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis;
(3)     Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan, melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator;
(4)     Apabila para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seoran atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator;
(5)     Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai;
(6)     Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangan oleh semua pihak yang terkait;
(7)      Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan;  
(8)     Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran;
(9)      Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. 
Kelemahan yang masih menjadi kendala dari APS adalah masih kakunya prosedur/mekanisme APS yang ada dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kekakuan mekanisme tersebut dapat dilihat dari limitasi waktu yang ketat dan langkah-langkah/tahapan yang baku sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 (Widiarto, 2004 : 41).
Corak mekanisme APS sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut tentunya bertolak belakang dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang selama ini digunakan masyarakat dalam menyelesaikan masalah pertanahan. Masyarakat dalam melakukan penyelesaian sengketa tidak terbatas waktu, bahkan cenderung memakan waktu lama yaitu dalam hitungan tahun. Sementara itu prosedur yang diganakan juga sangat luwes dan bergantung pada kesepakatan serta situasi dan kondisi.
Dalam kaitannya dengan prinsip accesible dan affordable (ada di setiap tempat dan biaya murah) nampak bahwa Badan Arbitrase tidak terdapat di semua Kabupaten/kota. Ini berarti merupakan seperti Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) jilid 2, karena hampir tidak semua memiliki PTUN tersebut dan yang ada hanya di ibukota provinsi. Sedangkan Badan Arbitrase ini justru tidak semua ibukota provinsi mempunyai sehingga tidak tercapai proses peradilan yang cepat dan biaya ringan.
2) Faktor Budaya
Pada sisi tertentu, pentingnya kedudukan hukum dalam kehidupan masyarakat, pada dasarnya tidak terlepas dari fungsi hukum itu sendiri dalam masyarakat berkaitan dengan harapan-harapan dan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian perlu disadari bahwa kebutuhan hukum setiap masyarakat tidak sama (Munir, 1997 : 3). Hukum dalam masyarakat yang sederhana tentunya berbeda kebutuhannya dengan hukum dalam masyarakat berkembang begitu pula dengan masyarakat modern, Vago (1985 : 15) menyatakan bahwa salah satu cara untuk memahami peranan hukum adalah melihat ada perbedaan fungsi hukum itu dalam masyarakat.
Praktik penyelesaian sengketa pada suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari budaya hukum masyarakat yang bersangkutan. Budaya hukum (legal culture) menurut Friedman seperti yang dikutip Rahardjo (1984: 82-86) dirumuskan sebagai “sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum,  bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang berkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif”.
Dari sisi normatif jelas bahwa alternatif penyelesaian sengketa diberikan ruang yang luas untuk memecahkan persoalan sengketa tanah antara warga masyarakat mauoun warga masyarakat dengan negara, apalagi sengketa kehutanan merupakan permasalahan yang sangat pelik memerlukan waktu cukup panjang..
Prosedur yang kaku dalam APS justru akan mengakibatkan ketergesa-gesaan dalam menyelesaikan sengketa yang pada akhirnya dapat merugikan kedua belah pihak dengan adanya bayang-bayang dead lock. Kecenderungan dead lock akan menyebabkan buntunya solusi permasalahan dan mendorong untuk dilakukan jalan pintas berupa dorongan untuk menggunakan jalur litigasi.
Proses pengaturan APS melalui hukum positif dikawatirkan akan mencerabut akar filosofi APS itu sendiri. APS pada prinsipnya sangat bergantung pada kesepakatan para pihak, sehingga kebebasan para pihak diutamakan dalam APS.
c.  Arbitrase merubah sistem penyelesaian sengkata di luar pengadilan dari win-win solution menjadi win-lose solution dengan segala konsekuensi yang terjadi.
Alternatif penyelesaian sengketa misalnya melalui penggunaan negosiasi  sebagai teknik berunding  mampu memberikan persetujuan secara damai tanpa harus ada yang kalah (win-win solution), dalam hal ini mampu menghasilkan persetujuan secara bijaksana (seandainya kesepakatan dapat dicapai), efisien (to the point) dan  meningkatkan atau setidaknya tidak merusak hubungan baik yang sudah terjalin. Proses tawar-menawar secara konsensual karena para pihak sepakat dalam penyelesaian sengketa   mendapatkan keuntungan karena tingkat kemandirian para pihak tanpa intervensi pihak lain.
Kelebihan negosiasi ini para pihak bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tatacara yang terdapat dalam negosiasi dan akan diterapkan dalam penyelesaian sengketa. Pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat mengadakan penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui situasi yang saling menguntungkan, dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran  atas hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik.
Alternatif penyelesaian sengketa berhasil mengantarkan kerangka berpikir  obyektif yang inklusif terhadap masukan-masukan positif. Pada sisi yang lain juga membuka mata mendesakkan kepentingan tidak dengan pendekatan pemaksaan kehendak maupun penaklukan (coersif) melainkan secara elegan berproses affecting (mempengaruhi) substansi persetujuan berbarengan dengan mendapatkan sebuah persetujuan yang berpengaruh (effecting) serta menekankan pada proses sebagai produk yang jauh lebih berharga daripada output (Fisher et.al, 2000 : 172).
Dengan adanya arbitrase hal yang menonjol adalah adanya keputusan yang bersifat final dan binding sehingga dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali. Dari sisi waktu yang dipakai untuk penyelasaian sengketa  relatif singkat yaitu paling lama 180 (seratus delapan puluh hari) sejak arbiter terbentuk (pasal 48 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999).
Permasalahan dalam arbitrase terutama dengan adanya putusan arbitrase yang bersifat final dan binding yang mengikat para pihak yang bersengketa tentu akan menimbulkan pihak yang menang dan kalah. Biasanya pihak yang kalah mencari alasan/dalih untuk menggugurkan putusan bahwa perjanjian melalui  klusula arbitrase para pihak, pihak yang kalah  mengkait-kaitkan dengan langkah bagaimana membatalkan putusan dari arbitrase (misalnya syarat perjanjian melanggar ketentuan pasal 1320 KUH Perdata) lewat pengadilan negeri baik menyangkut quality arbitration (menyangkut fakta seperti ada proyek yang di-mark up) maupun technical arbitration (bahasa dokumen) apalagi bila salah satu pihak adalah dari negara asing. Dalam pasal 70 UU Nomor 30 tahun 1999 memberi peluang untuk hal itu seperti dinyatakan:
Terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.         Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b.         Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c.         Putusan yang diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam sengketa
Dalam hal ini nampak konsekuensi yang harus dipikul dalam arbitrase oleh para pihak adalah:
(a)     kesulitan para pihak memiliki itikad baik terhadap keputusan tersebut arbitrase (seperti kasus Karaha Bodas Company LLC AS (KBC) melawan Pertamina);
(b)     kesulitan menentukan arbriter agar tidak memihak (dalam kasus Pertamina dengan KBC tidak ada satupun arbriter dari Indonesia);
(c)     kesulitan menjawab pilihan hukum apabila pada perbedaan sistem hukum antar negara (meskipun terikat Lex Mercantoria).
2.       Pilihan Forum (Choice of Jurisdiction) dan Pilihan Domisili (Choice of Domicili)
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka ppara pihak dalam kontrak dapat memilih pengadilan mana  seandainya timbul sengketa terhadap kontrak yang bersangkutan yang dapat dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di luar pengadilan. Khusus berkaitan dengan forum di luar pengadilan yaitu melalui arbitrase dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diatur dalam UU Nomor 30 tahun 1999 akan dikaji secara mendalam di bawah ini.
a.       Penerapan yurisdiksi adalah generalisasi dan absolut, tanpa memperhatikan rumusan klausula yang disepakati dalam kontrak (Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999) termasuk pengabaian terhadap Anggaran Dasar BANI.
Terdapat kecenderungan penerapan yurisdiksi arbitrase secara generalisasi dan absolut, tanpa memperhatikan rumusan klausula yang disepakati dalam perjaijian sebagaimana dalam UU Nomor 30 Tahun 1999:
-        Pasal 3 : “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak  yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
-        Pasal  11 :
-        Ayat (1) : Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri;
-        Ayat (2) : Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Berdasarkan rumusan ini berarti setiap perjanjian terdapat klausula arbitrase dengan sendirinya lahir kewenangan absolut arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian, tanpa memperdulikan jangkaun atau ruang lingkup sengketa yang disebut dalam rumusan arbitrase jelas merupakan pendapat yang keliru.  Bentuk klausula arbitrase  pada prinsip dapat dilakukan melalui:
-        Standar klausula arbitrase ICSID  (International Centre for Settlement of Invesment Disputes);
-        Standar klausula arbitrase UNCITRAL (United Nations Commision on International Trade Law;
-        Standar klausula arbitrase ICC (International Chamber of Commerce);
-        Standar klausula arbitrase menurut ketentuan nasional;
Dalam praktek hukum dikenal dan membenarkan cara perumusan arbitrase (Harahap, 2002 : 17) :
(a)     Berbentuk Umum
Bentuk klausula yang bersifat umum yang sering disepakti dalam perjanjian yaitu bahwa para pihak sepakat agar segala atau setiap sengketa yang terjadi  atau timbul dari perjanjian, akan diselesaiakan oleh arbitrase.
 “All disputes arising connection with the present contract shall finally settled under the arbitration…”
Dalam hal ini berarti ketentuan pasal 3 diterapkan secara absolut yaitu sengketa yang timbul dari perjanjian adalah:
-        secara mutlak menjadi yuridiksi arbitrase untuk menyelesaikan;
-        PN berdasarkan pasal 3 dan pasal  11 tidak berwenang untuk mengadili.
(b)     Berbentuk Terbatas atau Parsial
-        ada yang bercorak enumeratif, dengan cara dideskripsikan satu-persatu dalam klausula arbitrase, sengketa apa saja yang menjadi kewenangan arbitrase; atau
-        hanya menyebut secara terbatas sekali sengketa apa saja yang dapat disepakati diselesaikan oleh arbitrase.
Biasanya klausula yang bersifat rinci disebut satu-persatu jenis sengketa yang disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase, sedangkan klausula yang bersifat sangat terbatas hanya menyebut 1 (satu) saja. Dapat dilihat bahwa dalam rumusan klausula terinci atau terbatas, tidak dijumpai kata kunci kunci segala atau setiap. Tetapi langsung dengan menyebut jenis sengketa apasaja yang disepakati menjadi yurisdiksi arbitrase. Dalam hal disepakati ini, ketentuan pasal 3 dan pasal 11, tidak otomatis diterapkan secara generalisasi dan absolut.  Akan tetapi harus diteliti dengan seksama, apakah sengketa yang terjadi termasuk jenis sengketa yang disebut dalam klausula, dengan acuan penerapan :
-        apabila sengketa yang terjadi termasuk ruang lingkup yang disebut atau dirinci dalam klausula, maka yang berwenang menyelesaikan adalah arbitrase, atas alasan sengketa yang terjadi termasuk yurisdiksi arbitrase berdasarkan kesepakatan yang ditegaskan dalam perjanjian;
-        sebaliknya apabila sengketa yang terjadi berada di luar ruang lingkup klausula arbitrase, yang berwenang menyelesaikannya adalah Pengadilan Negeri, atas dasar sengketa termasuk yurisdiksi PN;
Bahkan bila dikaitkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang menerapkan unsur-unsur ADR  pada pasal 1 Anggaran Dasar BANI diberi wewenang oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan mengadili semua sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keunagan dan lain-lain baik yang bersifat nasional maupun internasional. Yang tidak dapat diarbitrasekan di Indonesia adalah sengketa tentang perumahan, perburuhan/tenaga kerja. Sehingga sulit untuk menetapkan begitu saja “one size fits for all” (Abdurrasyid, 2003 : 1).
Dalam praktik di pengadilan Indonesia, seringkali dijumpai adanya kerancuan pemahaman pilihan yurisdiksi (choice of yurisdiction) dan pilihan hukum (choice of law). Sehingga seringkali ditemukan adanya inkonsistensi sikap pengadilan terhadap hal tersebut.
b. Pasal 3 dan 11 ini tidak memberikan jawaban yurisdiksi yang jelas terhadap klausula arbitrase yang bersifat rinci atau terbatas.
Terhadap yurisdiksi arbitrase dan pengadilan baik pasal 3 dan pasal 11, seolah-olah secara otomatis menegakkan yurisdiksi absolut arbitrase, jika dalam perjanjian terdapat klausula arbitrase. Seolah-olah setiap klausula arbitrase yang disepakati dianggap bersifat generalisasi, yang berakibat setiap klausula yang disepakati semuanya dianggap berbentuk kalusula umum. Padahal secara hukum membenarkan dan mensahkan asanmaya klausula yang bersifat rinci (enumeratif) maupun parsial atau terbatas hanya untuk satu atau beberapa sengketa tertentu.
Disamping itu permasalahan dalam perjanjian arbitrase  acapkali menyertai perjanjian pokoknya (kontrak-kontrak komersial) baik nasional maupun internasional. Segi positif dengan klausula arbitrase yaitu bahwa para pihak dapat memilih proses penyelesaian sengketa mereka kelak di kemudian hari. Di dalam hal ini, mereka dapat pula merancang klausula tersebut sedemikian rupa sehingga ketentuan-ketentuan (persyaratan arbitrase) yang di dalamnya dapat memenuhi keinginan mereka.
Untuk dapat merumuskan suatu klausula arbitrase yang sudah barang tentu peranan ahli hukum atau ahli arbitrase akan banyak membantu. Karena dalam merumuskan suatu ketentuan yang terdapat di dalam klausula arbitrase harus sangat berhati-hati agar pihaknya atau kedua belah pihak sama-sama puas dan sama-sama tidak merasa dirugikan. Dalam praktek di banyak negara berkembang seperti di Indonesia, justru sering dibodohi. Sebagai contoh, seorang pemilik pabrik di Semarang mengorder banyak sekali bahan yang diperlukan bagi ban becanyasampai beraturs-ratus ribu US dollar. Ternyata yang dilever barangnya jelek tidak bida melekat. Lapisan nilonnya tidak bisa menjadi satu dengan karetnya sehingga ia sangat dirugikan. Dan ternyata dalam kontrak tercetak bahwa kalau terjadi perselisihan harus dilakukan di Jepang menurut ketentuan Japan arbitration Association (Adolf, 2002 : 20-21).
c.  UU Tidak memberikan Jawaban atas permasalahan Klausula Arbitrase yang Disertai dengan pemilihan Domisili PN Tertentu.
Baik sebelum maupun sesudah UU Nomor 30 Tahun 1999 berlaku sering dan banyak dijumpai perjanjian, dimana para pihak secara serentak mencantumkan kesepakatan klausula arbitrase, namun bersamaan dengan itu dicantumkan kesepakatan pilihan domisili dengan cara menunjuk PN tertentu untuk menyelesaikan sengketa.
Terhadap klausula yang duplikatif timbul beberapa pendapat karena  sering terjadi perumusan arbitrase yang disertai pemilihan domisili PN, tetapi  UU tidak memperdulikan hal itu. Beberapa pendapat terhadap hal ini (Harahap, 2002 : 19) :
(1)     Percampuradukan antara klausula arbitrase dengan pilihan domisili PN dalam perjanjian:
-        dianggap tidak mempengaruhi eksistensi klausula arbitrase;
-        klausula domisili pilihan, dianggap tidak ada dalam perjanjian, sehingga klausula yang ada hanya klausula arbitrase;
-        yurisdiksi penyelesaian sengketa, mutlak menjadi kewenangan  arbitrase.
(2)     Klausula tersebut melenyapkan atau menyingkirkan klausula arbitrase, dengan alasan:
-        Kedudukan arbitrase dalam sistem peradilan adalah extra judicial atau peradilan semu, sedangkan formal dan resmi sebagai PN yang berkedudukan sebagai kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, meskipun UU memberi wewenang kepada arbitrase menyelesaikan sengketa, hal itu tidak mengubah status extra yudicial yang melekat pada dirinya. Sehubungan dengan hal itu apabila terjadi ada perjanjian para pihak menyepakati klausula arbitrase yang disertai pilihan domisili pilihan PN, klausula arbitrase dianggap tidak pernah ada dalam perjanjian, dalam penyelesaian sengketa mutlak menjadi yurisdiksi PN.
-        Berdasar prisnisp lex posterior derogat legi prior, yaitu dengan adanya klausula domisili sesudah klausula arbitrase, klausula terakhir dengan sendirinya melenyapkan atau menyingkirkan klausula yang mendahului yaitu klausula arbitrase. Dengan demikian yurisdiksi yang sah dan berfungsi adalah yurisdiksi PN, karena yurisdiksi arbitrase telah dikesampingkan berdasa asas tersebut
(3)     Kedua klausula dianggap sah menuruit hukum, sesuai dengan porsi kewenangan masing-masing.
Perjanjian yang dicantunkan atau mengandung klausula yang bercorak duplikatif antara klsusula arbitrase dengan klausula domisili PN, tidak perlu saling dipertentangkan dan juga tidak terjadi penyingkiran antara klausula  yang satu dengan yang laian, yang terjadi adalah pelaksanaan dan penerapan secara proporsional sesuai dengan yurisdiski masing-masing dengan acuan:
-        kewenangan untuk menyelesaikan sengketa, jatuh menjadi yurisdiksi arbitrase;
-        pelaksanaan eksekusi atau putusan arbitrase jatuh menjadi kewenangan  PN yang disebut dalam klausula perjanjian dengan jalan menyingkirkan asas actor sequitor forum rei yang digariskan dalam pasal 118 ayat (1) HIR.
d.      Tidak mengatur sistem koneksitas antara arbitrase dengan Pengadilan dalam Pelaksanaan Tindakan Sementara.
Menurut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka bila terjadi perkara koneksitas antara hukum privat dan hukum publik maka hukum publik harus diselesaikan dahulu ( Nugroho, 1998: 12).  Sedangkan masalah yang tidak mendapat perhatian mengenai koneksitas antara arbitrase dan pengadilan, sehubungan dengan tindakan sementara yang diambil arbitrase. Menurut pasal 32 UU Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan:
-        Ayat (1) : Atas permohonan salah satu pihak arbiter atau majelis arbiter dapat mengambil putusan provisional atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan,memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga atau menjual barang yang mudah rusak;
-        Ayat (2) : Jangka waktu pelaksanaan putusan provisional atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 48. 
Pasal 32 di atas memberi wewenang kepada arbitrase melakukan tindakan bersifat sementara berupa penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga dan penjualan terhadap barang yang mudah rusak melalui putusan sela yang diajukan salah satu pihak ataupun majelis arbitrase. Namun tindakan itu tidak mengikat kepada pihak ketiga karena tindakan penyitaan (conservatoir beslag) dan eksekusi (executorial beslag) tunduk pada ketentuan hukum publik yaitu HIR. 
Konsekuensi dari hal di atas maka sita jaminan mempunyai kekuatan formal dan resmi bila dilakukan PN sesuai ketentuan HIR. Sehingga ketentuan pasal 32 UU No. 30 tahun 1999 yang memberikan kewenangan bagi arbitrase melakukan penyitaan, tindakan adalah tidak memiliki kekuatan formal dan resmi kepada pihak ketiga. Sehingga apabila pihak tersita mengasingkan atau menjualnya  kepada pihak ketiga, tidak berakibat transaksi itu batal demi hukum. Penyitaan yang dilakukan  arbitrase tanpa campur tangan atau bantuan PN hanya mengikat para pihak, tetapi tidak mengikat pihak ketiga.
D.     Penutup
1.       Kesimpulan
Sesuai hasil pembahasan di atas maka ditarik kesimpulan:
1)       Perlunya kajian terhadap UU Nomor 30 Tahun 1999 karena problema yang berkaitan dapat tidaknya hukum bekerja secara efektif menurut “Legal Theorie” dari Friedmann terutama  segi substansi hukum (legal formal),  bahwa 3 (tiga) pilihan berkaitan UU No. 30 Tahun 1999 dalam kaitannya dengan kebebasan berkontrak di Indonesia yaitu : pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction) dan pilihan domisili (choice of domicili) terdapat kelemahan yaitu pasal yang kurang jelas, kurang pasti, kabur dan pengertian luas terhadap arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa serta ada materi yang belum diatur dengan baik dan proporsional;
2)       Kajian terhadap UU No. 30 Tahun 1999 tentang   Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Kaitannya dengan Prinsip Kebebasan Berkontrak di Indonesia (Perspektif Legal Formal) problema yang muncul adalah adalah:
a) Pilihan Hukum (Choice of Law)
UU Nomor 30 Tahun 1999  terdapat beberapa kelemahan  yaitu :
(1)   Judul UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa merupakan konsep yang keliru atau salah karena merupakan :
(a)      Konsep yang terbalik, ketentuan  alternatif penyelesaian sengketa (ADR) seharusnya ada lebih dahulu baru arbitrase sehingga dengan demikian terwujud connected system antara ADR dengan arbitrase;
(b)   Arbitrase seharusnya merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa (non litigasi), jadi bukan pengaturan arbitrase terlepas dari ADR (pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999);
(2)       Perkara dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya ringan adalah  bersifat relatif serta kurang sesuai  prinsip accesible dan affordable, hal karena penyelesaian UU No. 30 Tahun 1999 disebabkan:
(a)     Faktor kekakuan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dikawatirkan justru terjadi jalan buntu (dead lock) dalam penyelesaiannya;
(b)     Faktor Budaya yang dianut masyarakat dalam menyelesaikan sengketa.
(3)       Arbitrase merubah sistem penyelesaian sengkata di luar pengadilan dari win-win solution menjadi win-lose solution dengan segala konsekuensi yang terjadi karena keputusan arbitrase bersifat final dan binding. Namun  seperti ada kecenderungan pihak yang kalah untuk mengkait-kaitkan   perjanjian yang dibuat menurut kebebasan berkontrak (pasal 1338 KUH Perdata) dengan  bagaimana membatalkan putusan dari arbitrase karena perjanjian yang dibuat  tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian (misalnya pasal 1320 KUH Perdata) lewat pengadilan negeri melalui upaya pembatalan keputusan yang diatur pasal 70 terutama mencari alasan tentang  surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu, yang disembunyikan oleh pihak lawan dan putusan yang diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam sengketa.
b) Pilihan Forum (Choice of Jurisdiction) dan Pilihan Domisili (Choice of Domicili)
(1)     Penerapan yurisdiksi adalah generalisasi dan absolut, tanpa memperhatikan rumusan klausula yang disepakati dalam kontrak (Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999) termasuk Anggaran Dasar BANI.;
(2)     Pasal 3 dan 11 ini tidak memberikan jawaban yurisdiksi yang jelas terhadap klausula arbitrase yang bersifat rinci atau terbatas;
(3)     UU Tidak memberikan Jawaban atas permasalahan Klausula Arbitrase yang Disertai dengan pemilihan Domisili PN Tertentu  :
(a)     Percampuradukan antara klausula arbitrase dengan pilihan domisili PN dalam perjanjian bahkan klausula tersebut melenyapkan atau menyingkirkan klausula arbitrase;
(b)      Kedua klausula dianggap sah menuruit hukum, sesuai dengan porsi kewenangan masing-masing;
(4)     Tidak mengatur sistem koneksitas antara arbitrase dengan Pengadilan dalam Pelaksanaan Tindakan Sementara, dalam putusan sela yang diajukan salah satu pihak ataupun majelis arbitrase. Namun tindakan itu tidak mengikat kepada pihak ketiga karena tindakan penyitaan (conservatoir beslag) dan eksekusi (executorial beslag) tunduk pada ketentuan hukum publik yaitu HIR.  Konsekuensi dari hal di atas maka sita jaminan mempunyai kekuatan formal dan resmi bila dilakukan PN sesuai  HIR.

2.       Saran
1)       Perlunya aturan pelaksana yang jelas,  bahwa 3 (tiga) pilihan berkaitan UU No. 30 Tahun 1999 dalam kaitannya dengan kebebasan berkontrak di Indonesia baik pilihan hukum, pilihan forum dan pilihan domisili disempurnakan peraturan pelaksana sehingga pasal yang kurang jelas, kurang pasti, kabur dan pengertian luas terhadap arbitrase dan alternatif penyelesaian secara yuridis teratasi termasuk materi yang belum diatur;
2)       Problema yang berkaitan  Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Kaitannya dengan Prinsip Kebebasan Berkontrak di Indonesia (Perspektif Legal Formal) perlu dilakukan dengan :
a)  Pilihan Hukum (Choice of Law)
UU Nomor 30 Tahun 1999  terdapat beberapa kelemahan sehingga seharusnya adalah:
(1)      Judul UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa harus mendahulukan unsur penyelesaian melalui mekanisme di luar pengadilan secara urut yaitu : mediation, conciliation atau expert determintion, dan bila tidak dapat tercapai baru ditempuh melalui arbitrase;
(2)      Faktor kekakuan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dihilangkan dengan pendekatan budaya dan penggunaan arbitrase sedapat mungkin mendapatkan keputusan yang win-win solution dan pihak yang kalah tidak mencari-cari  dalih-dalih untuk membatalkan putusan seperti diatur pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999;
b) Pilihan Forum (Choice of Jurisdiction) dan Pilihan Domisili (Choice of Domicili) :
(1)        Perlu memperhatikan penerapan yurisdiksi dengan memperhatikan rumusan klausula yang disepakati dalam kontrak (Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999) termasuk Anggaran Dasar BANI;
(2)        Perlu jaminan  hukum melalui perjanjian memberikan jawaban atas permasalahan klausula arbitrase yang disertai dengan pemilihan domisili PN.
-----
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid, P (2002) Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolution – ADR/ Arbitration) Suatu Kajian, dalam Jurnal : Hukum Bisnis, Vol 21/ Oktober-November 2002 

-------, (2003) Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolution – ADR), dalam Newsletter No. 52/Maret/2003

Adolf, H (2002) Arbitrase Komersial Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta

Fisher, R, et.al. (1991) Getting To Yes: Teknik Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksakan Kehendak, dalam Hariyanto, D dan Situmorang G (Terj.), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Fuady, M (2002) Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase, dalam Jurnal : Hukum Bisnis, Vol 21/ Oktober-November 2002 

Goodpaster (1999) Panduan Negosiasi dan Mediasi, dalam Togar Simanjuntak (Terj.), Ellips

Harahap, M.Y (2002) Beberapa Catatan Yang Perlu Mendapat Perhatian atas UU No. 30 tahun 1999, dalam Jurnal : Hukum Bisnis, Vol 21/ Oktober-November 2002 

------- (2003) Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta

Munir, M (1997). Penggunaan Pengadilan Negeri Sebagai Lembaga Untuk Menyelesaikan Sengketa Dalam Masyarakat  Kasus penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan tanah dalam masyarakat di Kabupaten Bangkalan, Madura. Surabaya : Disertasi,Universitas Airlangga Program Pascasarjana.

Nugroho, J (1998) Diktat Kuliah : Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, STIH Jenderal Sudirman, Lumajang

Rahardjo, S. (1984) Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung.

Rahardjo, S. (1984) Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,  Bandung.

Rahmadi, T (1996) Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Makalah Penataan Hukum Lingkungan 4-12 Januari 1996, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.

Rubai, M dan Sugiri, B (2003) Mata Kuliah Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Hand Out Penataran Alih Tahun T.A. 2003/2004, Program Pascasarjana Univ. Brawijaya, Malang

Setiawan (2003) Beberapa Catatan Hukum tentang Klausula Arbitrase, dalam Newsletter No. 52/Maret/2003

Setiono (1989) Hukum Perdata II (Perikatan yang Terjadi Karena Perjanjian dan yang terjadi Karena Undang-Undang), Sebelas Maret University Press, Surakarta
Tim ELSAM dkk. (2000) Legal Opinion (Critical Legal Analysis  ) terhadap UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, dalam  Wacana : Edisis VI/2000,  Insist

Vago, Steven, (1981), Law and Sociaty, New York : Prentice – Hall. Inc.

Widiarto, A.E. (2004) Prospek Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Dalam Perspektif Hukum Adat Untuk Menyelesaikan Konflik Pertanahan di Indonesia, dalam Arena Hukum No. 22 Tahun 7, Maret 2004.

Widjaya, G (2002) Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Rajagrafindo Persada, Jakarta









* Jati Nugroho,SH.MHum. adalah dosen PNS Dpk pada STIH Jenderal Sudirman Lumajang dan pengurus asosiasi pengajar HTN dan HAN Jawa Timur.